Kentang dalam balutan telur goreng

 
Sumber gambar: yesofcorsa.com 

Persimpangan Condong Catur, Yogyakarta, pada sebuah malam.


Hujan malam pada realitanya masih belum sudi menghentikan guyurannya semenjak hari sampai pada batas senja tak lebih dari tiga jam lalu kendati ia sempat berhenti sejenak demi menyisakan tanah basah yang diselingi sekadar genangan di atas badan Jalan Condong Catur. Lalu lintas telah beranjak sepi menjelang tengah malam ini pukul 22.57 WIB. Tinggal satu-dua kendaraan yang tetap berlalu-lalang meninggalkan seorang guru muda dalam kesunyian malam Condong Catur. Sudah kesekian kalinya sang guru muda larut akan suasana malam Kota Yogya seusai ia menerima secarik telegram elektronik di tepi Istana Gedung Agung tempo hari. Bathinnya tersentak hebat kala menerima berita mengenai terkaparnya Si gadis bunga pada rasa sakit. Sekarang entah apa yang ia pikirkan. 

Aku kini melangkahi sepanjang sisi Persimpangan Condong Catur hanya seorang diri bagai siap tertelan kegelapan malam nan sunyi ini yang tentu sangat kontras dari suasana malam tempo hari. Bolehlah keramaian Yogya tetap sanggup mengusir sunyi dalam ruang hati walau sunyi itu selalu enggan beranjak. Namun, kini kesunyian ruang hati terasa lebih cocok dengan kesunyian malam pada Persimpangan Condong Catur sebab ruas-ruas jemari kiriku sedang menenteng tujuh bungkus kentang bersama omelet bin telur goreng dibalut. Karena badanku terus bergoyang-goyang seraya menenteng bungkusan makanan dalam satu kantong tersebut, alhasil ada sejumlah kentang yang masuk ke balutan telur goreng dalam dus styrofoam. Omelet itu kini tampak seperti monster peneguk kentang goreng. 

Tiba-tiba dada kananku bergetar hebat. Pasti secarik telegram elektronik telah merasuki telepon selulerku dengan jalur masuk berupa aplikasi Whatsapp. Sudah tentu pengirim pesan aplikasi Whatsapp tadi adalah Gloria, seorang gadis manis berambut pendek sebatang leher yang sekarang menanyakan keberadaanku. "Herr Aldi sekarang dimana? Kalo udah beres cepet pulang ya. Kita berenam pada nungguin kamu." Di awal kata Gloria pasti memanggilku dengan sebutan "herr" seperti murid-murid di sekolah tetapi di akhir kata dirinya pasti memanggilku dengan sebutan "kamu." Namun tak apa-apa, ia merupakan salah satu teman dekatku dalam kisaran umur tanpa mengantongi perbedaan jauh. Kubalas pesan singkat Gloria dengan segera. 

"Ehm, sebentar lagi sampai Glor. Sekarang aku masih di jalan tapi hujan gede banget. Nih aku kehujanan." Dalam perasaan tergesa-gesa aku membalas pesan singkat Gloria. Perasaanku semakin ganas berkecamuk tak tentu arah kala mendapati Si gadis bunga terbangun tengah malam karena rasa sakitnya sejak kemarin dan hembusan nafasnya tak lancar. Ia pun turut mengeluh pusing tanpa mual serta hal itu berhasil mengacaukan pikiranku tanpa tahu jawaban terbaik apa yang diberi. Hanya guyuran hujan deraslah hadir sebagai jawaban terbaik untukku. 

                                                                           *******

Berhenti akan semakin khawatir pada si gadis bunga, terus berjalan justru semakin kehujanan. Diriku dibuat bimbang oleh dilema kecil ini sebab aku tidak pernah tahu pilihan mana lahir sebagai jawaban terbaik. Sekali aku berhenti, aku akan langsung khawatir akan nasib si gadis bunga sedang sekali aku terus berjalan, aku akan terus diguyur rintik hujan malam ini. Kentang berbalut telur goreng di tas milikku pun akan segera mendingin jika tak langsung dibawa ke rumah teman Gloria tempat kawan-kawanku menginap. Aku terus melakukan itu berulang-ulang tiada henti sedetik pun sampai akhirnya aku sampai di sebuah pintu rumah kuno bergaya arsitektur khas Belanda. Ini tipe rumah favoritku semenjak remaja dahulu. Pintunya aku ketuk pelan-pelan dan seorang gadis berambut panjang menguakkan gagangnya lebar-lebar tepat ketika dirinya melihat aku sudah berdiri di beranda depan. 

Rupanya diriku sudah ditakdirkan agar tidak menyadari pakaian gadis penguak gagang pintu tadi hadir dengan mengenakan kaos oblong dipadu celana legging selutut berwarna abu-abu sedang kupluk sewarna celana legging kesayangannya digantungkan di tembok kamar. Dialah Maureen. Dengan sabar ia membantuku merapikan baju beserta seluruh barang bawaanku termasuk melepas kemeja batik hijau si seragam dinas favoritku bila mengajar. Bungkus kentang dan omelet itu aku buka satu per satu tanpa sungkan sampai kawan-kawanku menyerbunya. Cukuplah tertawa bagiku kala melihat ulah Gloria, Maureen, Abang, Ariq dan Akbar dalam berusaha menghabiskan makanan pesanan mereka. 

Garis wajah pucat milik si gadis bunga aku coba tatap pelan-pelan. Ia sudah terlihat sangat lemah mengingatkan diriku pada saat dimana si gadis bunga harus jatuh sakit sampai terbaring lemah di rumah sakit berhari-hari. Aku menampak ada serangkaian kehilangan dalam bathinku pada hari-hari itu. Perlahan-lahan dirinya aku lihat sedang berusaha menarik nafas, namun tersumbat lagi hanya dalam hitungan detik. Alhasil sebotol air mineral ia teguk setengahnya berbarengan dengan ditelannya kentang goreng olehku. Pada waktu inilah secara tak sadar aku menceritakan sepotong cerita akan masa sukarku pada Gloria. Masa sukar itu terulang untuk kesekian kalinya di jenjang SMA tepat saat formatif terjadi secara berulang-ulang setelah aku berpikir ini sudah selesai. Tetapi formatif Sosiologi akan menyapa di awal hari Senin belum dilanjut oleh susulan formatif Akuntansi serta Bahasa Jerman. Betapa galaunya diriku mengingat kedatang bertubi-tubi para formatif.

Kubiarkan suaraku terus menceritakan semua uneg-uneg dalam diri hingga aku tersadar bahwa makanan milikku sudah akan habis. Ya Allah, kenapa aku turut tak sadar bila tulisan dalam lembaran-lembaran yang Engkau bentangkan ini semakin ke depan justru semakin tidak puitis? Apa yang menyebabkan cerita pada malam ini menjadi lebih pendek dari cerita malam kemarin?

Tiada satupun yang tahu, maka jawaban ini aku biarkan menggantung dalam guyuran rintik hujan.

Tertulis, kisah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan.

Bandung, 14 September 2016
Pukul 20.49 WIB
-Herr Aldi Van Yogya-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi