Dengar panggilan jiwa bersama separuh catatan usang


Rintik hujan malam tanpa berhenti secara terus-terusan mengguyur kegelapan bersamaan dengan datangnya sambaran petir yang membawa sinar-sinar mengkilap. Tiada suara satupun makhluk karena semuanya telah terlelap di alam mimpi tatkala seorang guru muda tengah asyik menghangatkan raganya dengan berguru pada sebatang lilin sekaligus lentera penggerak jiwa seraya ruas jemarinya sibuk membolak-balik lembaran buku agenda hitam kesayangannya yang menjadi teman bilamana dirinya menulis atau menepikan cerita pada sahabat-sahabat tak jauh darinya. Akan tetapi, malam ini sang guru muda mesti bercerita pada Gloria, satu-satunya sahabat yang belum terlelap sampai menjelang tengah malam. Kuputar ingatan lagi, Maureen dan si gadis bunga telah terlelap sejak beberapa jam lalu. 

Lilin kecil itu masih menari-nari pelan tatkala kesunyian malam semakin terasa kendati hujan masih tetap mengguyur sebagai pertanda ia tak sudi berhenti. Aku pun turut terbenam menikmati guyuran hujan malam ini dengan ditemani buku agenda kesayangan yang sejak tadi halamannya dibolak-balik oleh ruas jemari tangan kananku. Tepukan halus di kertas halaman buku itu menciptakan lembutnya suara penyejuk hati di depan sumbu cahaya lilin kecil sekaligus sumbu utama lentera jiwaku malam ini. Aku benar-benar menikmati kesendirian ini selama beberapa jam biarpun pada akhirnya kesendirian hati tadi harus pecah oleh riak suara Gloria yang muncul dari belakang tirai hujan.

"Ehm, wah seriusan nih Herr Aldi udah mulai nemu 'panggilan jiwa' waktu masih remaja?" Gloria si gadis pemakai baju kaos dan celana legging selutut berujar padaku. "Yoi, betul banget Glor. Waktu aku udah dua bulan belajar di kelas 12, aku mulai ngerasa ada panggilan jiwa soal cita-cita. Tapi itu lebih pas dibilang celah impian." Kami terdiam sejenak selepas aku memberi jawaban untuk Gloria sampai merasa seolah-olah hanya mendengar gemuruh rintik hujan. Tanpa aku sadari Gloria telah meluncurkan satu buah pertanyaan lagi tetapi aku belum sempat menepikan jawaban padanya karena teringat Stevie dan si gadis bunga. Dua bulan sudah aku selalu menampak kesukaran dalam memunculkan Stevie di ceritaku seperti yang sudah aku katakan sebelumnya.

Tanpa mengawali penantian panjang aku menyegerakan diri bercerita tentang celah lentera jiwa bersama Gloria. Seharusnya Stevie turut hadir di tempat ini sebab gadis cantik tersebut sangatlah layak menyerap seluruh kata-kata milik ceritaku.

                                                                           *****

Formatif. Secarik kata yang terdiri atas delapan huruf alfabet tadi sudah pasti selalu mengganggu daun telingaku di sepanjang Bulan September ini lantaran ia datang bertubi-tubi di antara jeda dalam hari. Menghadapi formatif aku merasa sangat lelah usai banyak waktu bebas yang tercerabut dengan cepat hingga sampai sepenggal pekan dimana aku harus menyematkan julukan "minggu formatif." Pada minggu pertengahan September ini formatif bin ulangan harian dimulai di Hari Senin dengan agenda formatif Sosiologi, berlanjut pada susulan formatif Akuntansi di Hari Rabu, Formatif Bahasa Jerman di Hari Kamis hingga formatif Sejarah Indonesia di Hari Jumat siang dalam bentuk roleplay mengenai tokoh-tokoh perjuangan Indonesia.

Lalu di sesi Formatif Bahasa Jerman inilah aku mulai menampak akan adanya celah bagi panggilan jiwa. Segelintir kawan-kawanku menunjukkan rasa tidak pahamnya terhadap materi pelajaran Bahasa Jerman yang tak lain tak bukan adalah tentang hobi atau kegiatan di waktu luang. Mereka bertanya tentang arti kata kerja ini-itu dan berbekal kefasihan Bahasa Jerman, aku tak sungkan membantu mereka memahami arti sekaligus struktur kata kerja dengan hati yang tenang kendati aku masih merasa belum sepenuhnya fasih berbicara Bahasa Jerman. Inilah sifat yang mesti dikantongi oleh setiap guru. Bolehlah seorang guru merasa berilmu melebihi murid-muridnya tetapi ia tak diizinkan memasang sifat sombong akan ilmu yang ia punya. Kelak ia akan menyesali kesombongannya.

Beres Formatif Bahasa Jerman, siang harinya aku bersua dengan pelajaran Bahasa Indonesia bersama Pak Iqbal. Hari itu aku masih membahas teks berita sejak awal tetapi sambil diselingi interupsi berupa singgunganku sendiri mengenai Tsunami Aceh tahun 2004 yang terjadi seiring dengan dua bulan pertama masa jabatan SBY sebagai Presiden RI sejak 20 Oktober 2004. Tak hanya SBY, aku singgung pula kenangan pada dua bulan pertama masa jabatan Presiden Joko Widodo yang disambut oleh bencana longsor Banjarnegara serta kecelakaan Pesawat AirAsia QZ 8501. "Kamu kuat banget datanya." Puji guru lulusan Universitas Pasundan ini padaku. Di akhir pembelajaran, beliau justru mengajukan sebutir permintaan kepada diriku: Boleh belajar Bahasa Jerman enggak? Alhamdulillah, celah panggilan dari lentera jiwa telah berkumandang kian lantang.

Kemudian bagaimana dengan impianku menjadi seorang presiden? Sudah ada panggilankah untuk diriku sendiri? Alhamdulillah, panggilan jiwa menjadi kepala negara telah timbul ketika diriku asyik mengikuti percaturan politik tanah air melalui layar kaca televisi. Diawali dari Pemilihan Gubernur DKI 2017 sampai Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2016 dengan kandidat Hillary Clinton serta Donald Trump ditambah dengan obrolan seputar politik Indonesia bersama seorang guru ketika jam makan siang. Terus terang aku sebutkan, beliau adalah Mr. Taufik sang guru Bahasa Inggris SMP yang dahulu mengalirkan dukungan pada Prabowo saat pemilihan presiden 2014. Tetapi, yang membuat aku berdecak kagum adalah ketika guru lelaki berkacamata ini bersikap realistis karena sudah takdir Jokowi mengemban amanah rakyat. Dengan begini peluangku menjadi seorang presiden telah terbuka kian lebar sedikit demi sedikit.

Di akhir kata, aku memberanikan diri mencoba mengorek celah panggilan jiwa lainnya dengan bertanya pada ibu mengenai salah seorang guruku saat masih SD dulu. Beliau tak lain tak bukan adalah Bu Sugi yang belakangan ini aku curigai beliau alumni Universitas Katolik Parahyangan (Unpar). Ternyata jawaban ibu benar. Ayah Bu Sugi dahulu pernah bekerja menjadi di Fakultas Hukum sedang Bu Sugi sendiri merupakan alumni Fakultas Hukum Unpar juga. Celah panggilan jiwa sang guru pendamping perjalanan masa remaja telah terbuka. Celah panggilan jiwa sang presiden di masa mendatang pun turut terbuka kian lebar juga. Kurang apa lagi? Mau minta apa lagi?

                                                                          *****

Jam dinding kuno aku pandangi sambil ditemani guratan cahaya lilin yang sudah habis setengah badan. Ceritaku boleh saja bertemu dengan ujungnya, tetapi hujan masih belum sudi menemui ujungnya begitu Gloria menyiratkan senyum manisnya di balik cahaya lilin kecil. Cerita indahku berakhir tatkala Gloria sedang tersenyum manis sesaat sebelum aku kembali bertutur-kata "Kisah saya waktu masa remaja emang kayak gitu, Gloria cantik. Awalnya mimpi-mimpi indah di dalam pikiran & hati, terus lama-lama mulai terbuka celah dari sisi pahit sampai sisi manis impian aku itu Glor. Terus kamu gimana?" Kutanya rangkaian perjalanan mimpinya pada kecantikan paras Gloria. Sambil malu-malu, Gloria mengisahkan rangkaian perjalanan mimpinya seiring dengan suara kodok sang penyambut rintik hujan juga para serdadu jangkrik.

Mataku telah lelah, dan aku ganti lilin dengan sebuah lampu badai kecil tanpa sempat menunggu sumbunya benar-benar padam. Kata "selamat malam" aku layangkan pada Gloria yang tertular rasa lelah dariku. Cerita-cerita di atas aku harap segera melebur agar segera bermetamorfosis menjadi realita termanis dalam hidup sebelum menguap kembali menjadi cerita bagi orang lain di kemudian waktu.

Sampai jumpa, sahabat-sahabat...

Tertulis, kisah indah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan.

Bandung, 23 September 2016
Pukul 19.22 WIB.
- Herr Aldi Van Yogya -

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi