Terombang-ambing melintasi palung terdalam

 
Sumber gambar: livehdwallpaper.com 

Pelabuhan Kai Tak, Hong Kong, pada penghujung sebuah hari. 

Perairan Teluk Kowloon tampak sangat tenang mengambang aku tatap secara terus-menerus walau sesekali digerus oleh deru mesin kapal yang melintas di sana. Kulirik lagi jam tangan bertali cokelat tua itu, masih sama seperti tadi. Denting jarum merambat sangat pelan sore ini kala aku menanti sekelompok anak muda dengan formasi sebagian gadis dan sebagian pemuda. Dari tadi aku telah menunggu seorang diri di Tepi Pelabuhan Kai Tak seraya berharap agar mereka turut melabuhkan badannya di sini bersamaku. Bolak-balik aku menoleh ke arah Kota Kowloon, raung mesin kendaraan membahana sampai menghujam jiwaku habis-habisan sambil bertanya: Kapan mereka datang ke tepi Pelabuhan Kai Tak? 


                                                                          ****************

"Männer und die Frauen, Guten tag-herzliche willkommen im Hong Kong Chek Lap Kok Internationale Flughafen heute am 15.10 Uhr von die lokalen zeit. Bitte behoben noch tragen Sie das Sicherheitsgurt nach diesem flugzeug sind an der Pforte zu stoppen und nicht aktivieren das handytelefon bevor Sie kommen in der Terminal. Herr Flugkapitän Schmidt Jülicher Wurzelbauer mit seiner flugbesatzung sind möchten zei vielen dank für euer reisen mit Lufthansa und Auf Wiedersehen in der nexten flug." (Bapak dan ibu yang terhormat, selamat siang-selamat datang di Bandara Internasional Chek Lap Kok Hongkong hari ini pukul 15.10 waktu setempat. Mohon tetap mengenakan sabuk pengaman sampai pesawat ini berhenti di gerbang dan tidak mengaktifkan telepon genggam sebelum anda sampai di terminal. Bapak Kapten Pilot Schmidt Jülicher Wurzelbauer beserta awak penerbangannya ingin mengucapkan terima kasih atas perjalanan anda bersama Lufthansa dan sampai jumpa di penerbangan lainnya." 

Sederet pengumuman dalam Bahasa Jerman membahana merdu di dalam kabin Pesawat Lufthansa Airbus A380-800 hanya sesaat usai roda depan bersama roda belakangnya menggilas permukaan aspal milik landasan Bandara Chek Lap Kok bersama dengan kehadiran seorang guru muda dari Negeri panser Jerman, nun jauh di Benua Biru sana. Sepanjang hari Kamis ini telah dihabiskannya di atas udara dalam perjalanan dari Frankfurt menuju ke Hong Kong demi bersua dengan kawan-kawan sebayanya saat remaja dulu. Mengudara sejak malam membekap Bumi tak memudarkan semangatku untuk menjumpai kawan-kawan lama di Negeri Disneyland ini terlebih lagi dengan kehadiran Maureen, Gloria, Si gadis bunga, dan Stevie. Tentu Stevie-lah yang sangat spesial kali ini sebab dirinya sudah sangat lama tak muncul dalam lembaran-lembaran cerita indahku kendati tanpa sebab yang kuketahui dengan pasti. 

"Vielen dank herr, Auf wiedersehen in der nexten zeit." (Terima kasih banyak pak, sampai jumpa di lain waktu.) Demikian bunyi tutur kata dari balik bibir para awak kabin Pesawat Lufthansa saat aku pergi keluar dari badan raksasa penguasa langit ini. Selanjutnya aku berjalan menyusuri bangunan Bandara Chek Lap Kok yang merupakan pengganti Kai Tak bersama dengan ribuan bahkan jutaan manusia dari segala penjuru Bumi dan dalam pengamatanku sepanjang penerbangan jarak jauh dari Jerman, makhluk-makhluk Kaukaosid adalah golongan makhluk yang paling mendominasi di antara golongan makhluk lainnya. Beragam urusan bandara seperti lapor pada petugas imigrasi di area kedatangan, pengambilan bagasi pesawat bertanda "Lufthansa," telah selesai aku tunaikan sedangkan untuk setelahnya, aku harus segera beristirahat di hotel lebih dulu sebelum kawan-kawanku tiba dari tanah air. 

 
                                                  ****************

"Excuse me
 sir, are you the one of French tourist in Hong Kong?" Sebuah suara yang sepertinya berasal dari pangkal tenggorokan seorang pria paruh baya menanyaiku dari balik punggung. Kemudian ketika kumenoleh padanya, ternyata spekulasi ruang hatiku terbukti benar. Seorang pria bule mengajakku berbincang bagai sudah kenal, mendahului kawan-kawanku tercinta. "Oh, no sir. I just an Indonesian tourist, but today evening at three o'clock pas 10 minutes by Lufthansa Airplane from Frankfurt, Germany. Now I just wait for my friends." Aku membalas ucapannya dengan ramah. Sejurus kemudian pria tersebut meminta maaf karena telah mengiraku sebagai seorang wisatawan Perancis karena tampangku yang terdiri dari rambut dengan warna cokelat tua, kulit putih dan bola mata berwarna cokelat kopi. 

Alih-alih membicarakan mengapa
 wajahku terlukis seperti sebagian orang bule padahal aku orang Indonesia, pria tadi justru mengajakku bicara tentang asal-muasal Pelabuhan Kai Tak. Pria tersebut aku ketahui bernama Jean Ross Coffin dan ia pernah mengabdikan dirinya dengan bekerja sebagai seorang Pilot maskapai penerbangan Air France. Dari profesi bergengsinya itu, ia mengaku telah menerbangkan beragam jenis pesawat mulai dari Airbus A300, Boeing 747-200, Douglas DC-9, Boeing 747-400 sampai Airbus A380 sebagai salah satu jenis armada pesawat favoritku. Namun, kini Mr. Coffin sudah pensiun dari profesi kebanggaannya tersebut. 

Kendati aku
 pernah mengendus perjalanan sejarah Pelabuhan Kai Tak, Mr. Coffin tetap tak sungkan bercerita tentang kesempatan pertamanya berkunjung ke Hong Kong saat Kai Tak masih berstatus bandara internasional. Tak terhitung jumlah penerbangan yang ia pimpin dari Paris ke Hong Kong termasuk momen saat ia harus belok dengan kemiringan 45 derajat dekat Checkerboard Hill, salah satu bukit di Hong Kong yang dialihfungsikan menjadi titik patokan pesawat belok ke landasan bandara. Prosesnya sungguh menegangkan, tetapi Mr. Coffin menuturkan bila hal tersebut kini telah menjadi kenangan yang takkan pernah terlupa sepanjang hayat. 

"Di, lagi ngobrol sama siapa? Udah kenalan belum?" Kata-kata dalam suara seorang pemuda menghentikan pembicaraanku dengan Mr. Coffin
 dalam sekejap. Ternyata pemuda itu adalah Ariq. Alhamdulillah, akhirnya kawan-kawanku datang juga bersama salah seorang murid kesayanganku. "Oh, ini aku lagi ngobrol sama Mr. Coffin, salah satu mantan pilot pesawat Air France. Kebetulan dia lagi jalan-jalan di sini." Ujarku polos, atau mungkin terlalu polos bagi ukuran seorang guru dan di belakang Ariq, kulihat empat gadis bersanding dengan tiga pemuda. Mereka hanya mengulum senyum kala aku menatap wajahnya dengan bersamaan. Ah, apa lagi yang kurang? 

Tetapi, sekonyong-konyong
 jemari kanan Gloria menjamah buku agenda cokelatku di lantai bekas landasan pacu Bandara Kai Tak ini. Angin pelabuhan telah menerbangkan rambut pendek setengkuknya bersamaan dengan tersingkapnya berlembar-lembar halaman buku agendaku ini. Pastilah matanya telah menjamah salah satu isi cerita dalam buku ini diikuti Stevie. Kini ia mendongakkan kepalanya demi melahap cerita di dalamnya serta ia tak sungkan menanyakan cerita tentang masa terombang-ambingku sambil melintasi palung terdalam di samudera kehidupan ini. "Herr Aldi, kenapa sih mesti galau sampe ngerasa kayak terombang-ambing di tengah laut gitu?" Benar, Gloria telah mengetahui seluruh isi bukuku walau hanya membaca sekilas. 

"Galau diputusin gebetan,
 herr?" Pertanyaan kedua meluncur dengan serentak dari tenggorokan Stevie disambung dengan pertanyaan serupa dari Maureen, Abang, Ragil dan Ariq sedang si gadis bunga tak memancarkan reaksi apa-apa selain diam seolah tak ingin memahami ucapan kami. Gloria tampak tersenyum-senyum sendiri kala mendengar pertanyaan menggelitik tadi. Dari situ, aku memutuskan bercerita tentang perjalanan kapal laut penuh guncangan ombak saat remaja dulu. 

 
                                                  ****************

Apa yang salah dengan Presiden Joko Widodo? Mengapa keburukannya selalu diungkit-ungkit tepat di depan batang hidungku? 

Aku terus mempertanyakan itu sambil
 angan beterbangan tak tentu arah bin tujuan dalam kepalaku sejak Hari Senin, 29 Agustus 2016. Teman sekelasku menyinggung habis-habisan terkait Suku bangsa Yahudi. Aku tahu, dalam filosofinya Suku bangsa Yahudi jelas tak memiliki kaitan apapun dengan kita sebaga pemeluk Agama Islam. Aku sendiri pula merasa enggan menanggapi panas mengenai isu ini dan dalam sudut pandangku, temanku yang menyinggung soal Agama Yahudi adalah salah seseorang dengan sudut pandang "anti" terhadap pemerintah. Terkadang ia membuatku merasa jenuh dan terkadang sebal dalam hati walau pada hakikatnya, aku hanya perlu santai menanggapi isu-isu bernada miring pada Presiden Joko Widodo? Yang menurut kita salah dengannya patut diperbaiki dan sekiranya tak perlu sampai menumbuhkan sifat benci kepadanya. Toh Presiden Jokowi sendiri berada dalam posisi jauh dari sakit hati berbalut kebencian. Jiwa sabarnya akan selalu lebih kuat dari sakit hati sekaligus kebencian. 

Cerita berlanjut lagi pada hari selanjutnya, kala Bulan Agustus telah memasuki usia
 kepala tiga. Pak Iskandar sang guru Geografi mengangkat lagi masalah infrastruktur atau pemerataan pembangunan di Indonesia yang belum sepenuhnya merata, terlebih di tanah Kalimantan sana. Tak ketinggalan aku bercerita mengenai hasil pengamatanku saat berkunjung ke sana dulu tak ketinggalan dengan kasus reklamasi. Melalui kasus yang bergulir, aku mencium adanya tindakan Gubernur DKI yang justru memberi lampu hijau pada pengembang proyek reklamasi padahal semestinya Presiden RI atau Menteri Lingkungan Hidup & Kehutanan (LHK) yang bertindak sebagaimana mereka berkuasa. Namun apa yang terjadi? Mengapa Presiden tak mengambil tindakan dengan Menteri LHK? Entah apa jawabannya, tetapi yang jelas kritikan berupa sorakan yang barangkali hujatan secara halus padaku sebagai pendukung Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Seiring dengan itu, rasa suka sekaligus banggaku pada Jokowi terasa mengendor padahal aku masih menyematkan status "Pro Jokowi" pada diriku sendiri.

Inilah fase awal pelayaran kapalku dengan
 ombak yang diguncang pada Pemerintahan Jokowi-JK.

Tetap duduk di tepi Pelabuhan Kai Tak, kini
 Stevie mulai memberanikan diri bicara padaku. Ia menanyakan apa fase selanjutnya dalam pelayaran kapalku mengarungi perairan sejauh samudera kehidupan terbentang di depan mata. Tidak cukup sampai pada ombak untuk Jokowi-JK, kapalku turut digoyangkan oleh ombak laut berupa kehadiran sejumlah kuis dan ulangan harian (baca: formatif) yang datang bertubi-tubi. Hal di atas terang saja membuatku merasa lelah sambil terus memikirkan seberapa banyak waktu bebas yang aku punya. Bisa-bisa waktu bebasku akan banyak terjamah kalau saja formatif terus datang tanpa jeda. Semoga ini bukanlah sepenggal doa yang berbuah realita pahit sesuai dengan keluhanku pada Bu Eka, guru wali pembimbing Kafilah Utsman bin Affan. Aku menjumpainya atas inisiatif sendiri pada Hari Kamis sore kala September baru saja lahir.

Fase kedua telah kuakhiri, kini fase ketiga datang menghampiriku di ruang kendali kapal. 

Bagai seorang kendali kapal yang telah kehilangan arah navigasi, aku melihat dalam angan bahwa tabir impianku yang selama ini sudah dibentangkan tampak kabur. Ya, kabur? Apa salahku? Apa sebabnya? Tentu
 ini disebabkan kehadiran Gloria (BUKAN MENYALAHKAN GADIS CANTIK ITU, SAHABAT). Gloria sendiri merasuki anganku sejak namanya santer di-buahbibir-kan publik pertengahan Bulan Agustus 2016. Jujur kukatakan, Gloria mengantongi sejumlah kemiripan denganku seperti yang dulu aku tuliskan. Pertama, ia memendam cita-cita sebagai seorang kapten pilot lalu ia menjamah kesimpulan dengan mengubah haluan untuk menjadi presiden seperti diriku. 

Tetapi satu hal yang tidak tahu, yakni sejak kapan serta berapa
 lama Gloria menavigasikan lentera jiwanya membuka celah di antara awan-awan langit nan tebal agar ia bisa menerbangkan pesawat. Sedangkan aku menavigasikan lentera jiwa demi menembus awan dalam sebuah pesawat sejak kecil dulu sebelum berubah haluan kepada sejumlah profesi idaman dan berlabuh pada ruang kelas sang guru bersama kursi kepala negara nun jauh di Istana Presiden sana. Sesekali terlukis jelas dalam angan momen kalaku menerbangkan pesawat Airbus A380 bersama Maureen juga si gadis bunga dengan peran asisten kepala penerbangan. Wajah Gloria pun turut terbayang tengah membantuku menyetir pesawat Airbus A380. 

 
                                                 ****************

Mr. Coffin kini telah pergi meninggalkanku bersama kawan-kawan
 sebab ia harus menuntaskan beberapa tugas di luar Pelabuhan Kai Tak. Kuratapi lagi Pelabuhan Kai Tak secara keseluruhan sambil mataku menjamah pemandangan Kota Kowloon lalu samar-samar kulihat checkerboard bandara di dinding bukit sana. Namun, kini papan raksasa itu telah mengelupas dilahap angin bersamaan dengan ditutupi pencakar langit tinggi. Tiada lagi pesawat yang kini mendarat tepat di atas landasan Kai Tak, melainkan hanya kapal-kapal besar yang berlabuh di sini...

Dari pemandangan
 tentang berlabuhnya kapal-kapal besar di Kai Tak ini, aku merasa seperti menjadi kapten kapal kehidupan dengan tugas menavigasikan arah kapal terkait tujuan hidupku sambil dihoyak oleh ombak dan badai impian. Kemana arah kapalku berlayar? Sanggupkah kapalku menembus halang-rintang itu? Aku tak tahu jawaban terbaik apa yang mesti aku beri. Kutatap lagi kawan-kawan di depanku, mereka tak mau ketinggalan memberiku semangat berbalut motivasi. "Ayo Herr Aldi, semangat dong!!!" Kuulangi, kuulangi dan kuulangi hal ini kembali agar aku bisa mendengar suara indah Stevie sang murid kesayanganku usai lama tak berkicau bagai Burung-burung Manyar remaja laksana kisah lamaku yang terdahulu. 

Di penghujung cerita, kutepikan pada kalian
 secarik kenangan kala langit sore Hong Kong melukiskan senyum si gadis bunga (sekaligus peluluh ruang hatiku) bersama Stevie diikuti Gloria dan Maureen. Inilah senyum terindah milik empat gadis tercantik sepanjang hidupku sedang penyemangat lentera jiwa ialah senyum para lelaki tak jauh dariku. Akhir kata, Pelabuhan Kai Tak kutitipi ucapan sampai jumpa sambil aku menuntun si gadis bunga, Stevie, Gloria, Maureen, Abang, Ariq, Ragil serta Akbar menembus keramaian Kota Hong Kong sore ini. 

Terima kasih
 telah membaca, sahabat-sahabat...

Tertulis, kata-kata dalam kisah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan. 

Bandung, 1 September 2016
Pukul 19.43 WIB
- Herr Aldi Van Yogya -   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi