Pertama-kedua-ketiga

 
Sumber gambar: paper4pc.com

Provinsi Gelderland, Belanda di batas langit siang hari. 

Kisah ini kuakui memang sudah amat sangat klasik lantaran aku selalu menulis tentang serangkai perjalanan melibas aspal jalanan negeri Belanda dalam satu mobil bersama keenam sahabat-sahabatku tercinta. Waktu yang aku pilih pasti selalu naungan tudung langit senja bersama sinar matahari yang terus terpancar melukiskan keindahan parasnya yang telah tersirat jelas. Cerita tadi kembali terjadi hari ini ketika bulan telah menemukan hari-hari penghujungnya, namun sekarang aku memutuskan pergi dengan mengendarai satu armada truk trailer berpenumpang enam orang sahabat-sahabatku tercinta. Deburan angin aku beri izin agar meniup rambutku bersepoi-sepoi di atas kemudi truk trailer.

Di tengah perjalanan dari Kota Düsseldorf, Jerman menuju Rotterdam ini, aku meluangkan waktu barang tiga sampai empat detik demi melihat garis wajah sahabat-sahabatku di samping kanan juga belakang tulang punggungku. Mereka sudah melukiskan raut wajah lelah tatkala aku memacu truk trailer pengangkut peti kemas dalam kecepatan 85 km/jam usai hari kemarin memacu truk trailer pengangkut tangki susu sapi dan pemandangan sejak menstarter mesin diesel truk di negeri panser tadi tidak pernah bermetamorfosis: Terhamparnya padang rumput bergoyang nan luas yang disirami sinar matahari sore sambil sesekali diselingi suara sapi-sapi pemakan rumput sekaligus pemberi susu. Sungguh pemandangan wilayah bawah tudung langit yang menentramkan rasa lelah ruang hati. 

Lagu "Kukatakan dengan Indah" hasil karya Noah turut menginterupsi ketenangan ruang langit sore di negeri kincir angin di depan kaca truk pengangkut peti kemas. Aku tidak lupa bersenandung kecil menuruti irama lagu galau tersebut hingga senandungku harus benar-benar berhenti ketika tangan seorang gadis mencerabut sampul buku agenda dari alas dashboard truk kendati sorot mata tetap memperhatikan laju truk. Gadis yang terduduk manis persis di sebelah bahu kananku itu aku lirik dengan ujung mata lalu aku mendapati tangan kirinya mencari-cari sesuatu di bawah jok truk. "Oh, sorry banget Herr Aldi. Barusan aku baru bangun tidur terus enggak sengaja tangan pegang buku agenda tapi malah jatuh." Ujar Gloria tertatih-tatih. "Enggak apa-apa Glor. Lagian sekarang juga aku lagi nyetir terus butuh konsentrasi tingkat dewa." Ujarku sebelum gadis berambut pendek ini terkekeh-kekeh seorang diri. 

"Hati-hati perlintasan kereta api 1 km lagi." Demikian bunyi tulisan yang tertera pada papan plang lalu-lintas di pinggir jalan. Tentulah sangat kontras dengan lukisan Allah SWT tak jauh darinya dan walau masih memberi toleransi berupa jarak satu kilometer lagi sebelum menepi di perlintasan sebidang, aku sudah keburu terbelenggu rasa lelah. Alhasil truk trailer beroda 12 buah si pengganti mobil VW kuno tersebut aku arahkan pada bahu jalan agar bisa melepas letih sesaat tak jauh dari perlintasan kereta api sebidang yang merupakan salah satu pemandangan favoritku selain rumput-rumput bergoyang serta telaga bening di antara padang bunga indah karena ada semerbak. 

Gloria diikuti Ariq, Abang, Akbar, Maureen dan terakhir si gadis bunga turun berbondong-bondong meninggalkan ruang kabin truk demi menyapa jejak ular besi menghadap semburat sinar matahari di ufuk barat. Tubuh letih pun mengungkung diriku supaya tak dapat berlari cepat menyusul mereka turun. Oleh karenanya derum mesin truk hampir lupa aku padamkan biarpun daun pintu sudah tertutup rapat dan beruntung, Maureen bertitah padaku untuk memadamkan mesin. Sejurus kemudian ketika aku kembali, aku menampak secarik kertas putih berlipat enam sisi menyembul keluar dari saku celana hitam untuk selanjutnya dicomot tangan kiri Akbar. Ia lantas membukanya serta mendapati berbaris-baris paragraf akan sebuah cerita tentang hal pertama, kedua sampai ketiga. 

"Ehm, cerita-cerita yang ada di dalam buku agenda kenapa enggak dibukuin aja herr? Isinya bagus-bagus lho." Celetuk si gadis bunga bersamaan dengan Abang sedang Maureen tengah asyik berbincang dengan Gloria bersama Ariq. "Yoi, Insha Allah ntar dibukuin." Aku hanya menjawab singkat. Tahu aku akan segera bercerita, Gloria turut merapat dibuntuti Ariq dan Maureen. 

                                                                       ******

Ujung Bulan September 2016 bagai tampak menjadi sepenggal titik balik terhadap semua peristiwa yang telah terjadi selama aku menyongsong masa-masa awalku mendalami masa belajar di kelas 12. Aku merasa waktu sangat cepat berlari maraton sambil ia mengembara melintasi ruang dimensi kehidupan alam dunia. Aku merasa seperti baru beberapa hari menyandang status siswa Kelas 12, namun hanya dalam waktu singkat tahu-tahu sudah akan setengah semester semua ini berjalan. Ingatan aku layangkan kembali laksana pesawat kertas yang terbang menuju ke masa lalu dalam seluruh kenangan. 

Pertama, aku putuskan September menyandang status sebagai ruang akan banyaknya cerita-cerita pahit serta manis lantaran aku mesti berjibaku dengan serangan formatif bin ulangan harian yang selalu saja datang bertubi-tubi. Satu formatif berlalu, sejumlah formatif lainnya pasti akan menyambangi di lain hari begitu waktu bebas aku nikmati sepenuh hati bersamaan dengan nafas yang terus berhembus perlahan di alam dunia hingga di suatu minggu pada awal September, aku harus jatuh sakit lantaran suara yang telah mengering selama dua hari. Inilah sepenggal kisah pahit yang aku saksikan dengan mata kepala sendiri sekaligus ketika jiwa bahagia dalam ragaku harus menyambut datangnya beragam peristiwa-peristiwa manis berupa terhunusnya rasa cintaku pada si gadis bunga sebagai bagian "penting" dari secarik masa berbunga-bunga yang berlangsung sangat singkat. Aku turut mengakui, cita-cita jadi guru terhunus karena aku menikmati masa remaja sedang aku enggan berpisah dengannya dengan melalui cara menjadi guru bagi anak-anak remaja. 

Perlu kutambahkan, di penghujung September anganku kembali mengingat pertemuan dengan Bu Yeye di Bandung sebulan berlalu sebagai salah satu momen indah untuk sukar diberangus dari ruang benak. 

Cerita pertama pada kurun waktu satu bulan aku biarkan tertiup angin senja milik langit Belanda. Lepas cerita mengenai pasang-surut September, berikutnya aku menghadirkan cerita dari ujung bulan Juli sebagai tonggak dari kisah keduaku selama dua bulan pertama. Memori dalam benak aku putar beratus-ratus derajat mengarah pada perjumpaan bersama para perantau dari Benua Biru juga Benua Paman Sam, menjalani hari penyambutan tahun ajaran baru, melakukan pertarungan sengit bersama try-out SBMPTN, serta mendengar presentasi terkait pengalaman para perantau Benua Biru. Syukur, Alhamdulillah aku bisa menunaikan kesemuanya dengan baik. 

Bulan Agustus di mataku merupakan bulan berasa manis lantaran aku ditunjuki jalan begitu lebar agar dapat pergi bersua dengan Pantai Anyer di tepi garis Selat Sunda selama dua hari penuh kemudian hanya 10 hari berselang, aku menyambut datangnya peringatan 17 Agustus sebagai hari kemerdekaan sekaligus menambahkan seorang teman baru dalam cerita ini sampai sebulan pertama aku mengenali sosok gadis itu berlalu laksana hendak ditelan langit sore. Akan tetapi aku rasa kesempatan emas mengenali gadis tersebut turut menjadi sesuatu hal tersulit untuk dihapus serta dengan telapak tangan terbuka lebar, tentulah aku menyambut kehadiran gadis cantik pada lembaran-lembaran indah ceritaku. 

Lalu apa yang mengantongi giliran ketiga? Jujur, aku sempat kelabakan sendiri kala berusaha menemukan jawaban terindah bagi poin ketiga sebab perlu waktu lama untuk dapat menangkap jawaban indah tersebut. Hanya dalam sekejap, Alhamdulillah aku berhasil menjawab pertanyaan terakhir yang tak lain tak bukan adalah: Selembar surat di penghujung Bulan Juni hasil pemberian kawanku sendiri. Usai menerima surat di penghujung Bulan Juni itu, aku segera menuliskan cerita mengenai hariku saat berada di Belanda bersama Si gadis bunga, Maureen, Abang, Akbar, Ariq serta Ragil sebab pada momen itu Gloria belum bisa hadir sedang Ragil tak ikut sekarang. Membaca surat di penghujung Bulan Juni, aku teringat akan semua momen seru selama Kelas 10. 

Kurasa jawabanku telah terpenuhi secara keseluruhan serta kini saatnya aku mengembalikan selayang-pandang kelopak mata ke arah garis wajah kawan-kawan termasuk alam negeri van oranje, julukan lain di samping negeri kincir angin. 

                                                                      ******

Belum sempat aku bicara, tahu-tahu telingaku sudah harus berdiri begitu menampak serangkai kereta api pengangkut barang menghentakkan angin di perlintasan sebidang. Naluri penyuka semua benda bernama kereta api tersengat nyalang terlebih lagi dengan hadirnya celetukan tiga dara berparas ayu sambil diselingi guyonan pemecah senja nan sendu. Tentu aku menyambut celetukan tiga dara manis tadi sambil menengadahi telapak tangan terbuka. Beragam peristiwa masa lalu telah diukir jelas pada bayang parasnya tempatku menemukan makna kasih dan hidup. Mereka bertiga datang seraya menawarkan ulu hati nan lugu agar selalu berupaya memaknai perasaan dalam angan seperti sajian lagu "Negeri di awan" dari Katon Bagaskara. 

Penggalan secarik kata aku tepikan pada Si gadis bunga, Gloria serta Maureen sesaat sebelum ruang langit memudar gelap. Aku dapat membaca dengan jelas makna yang terlukis pada guratan paras cantik mereka. Malu-malu mengingatkanku pada senyum manis Stevie namun terbukti mampu melenyapkan letihku untuk selanjutnya melempar kata-kata di luar arah nan jelas. Hembusan angin pun turut melengkapi pemandangan senja ini walau aku masih ingin menatap ruang langit luas bersama para sahabatku. Letih dalam diri telah memudar, aku menyegerakan diri kembali ke kabin truk trailer agar dapat meneruskan kisah sampai Rotterdam si kota pelabuhan di pesisir barat Belanda.

Terima kasih telah membaca, sahabat-sahabat...

Tertulis, kisah indah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan. 

Bandung, 28 September 2016
Pukul 19.43 WIB
- Herr Aldi Van Yogya -

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi