Doa pada selempang sajadah panjang

 Sumber gambar: www.boston.com

Malam telah terjamah hujan
Petir menyalak-nyalak ganas
Angin bertiup melambai-lambai
Tiada ampun dalam henti

Pada selempang sajadah panjang
Aku duduk seorang diri
Sajadah panjang ini terkembang
Diawali dari kaki buaian hingga tepi kuburan

Kuburan seusai hamba bernafas untuk yang terakhir kalinya
Inilah dunia, tempat hamba melangkah
Tepat di atas sajadah panjang nan suci ini
Bersama lantunan doa-doa suci

Dalam langkah pada sajadah panjang ini
Hamba mendengar secarik interupsi
Rezeki telah dicari ke langit
Ilmu turut dicari ke dasar laut

Di waktu mengukur jalanan seharian
Lalu ketika suara adzan telah menghujam daun telinga
Hamba tersungkur selalu
Walau masih harus bertanya

Sudah tersungkurkah hamba?
Rezeki bisa hamba cari sampai berjumlah banyak
Ilmu bisa hamba cari ke seberang benua
Lalu sudahkah kita tersungkur? 

Apa hamba mendengar suara adzan?
Apa hamba melihat masjid?
Apa hamba sudah bertakbir?
Dimana suara hati ini? 

Tiada jawaban terbaik yang kudapatkan
Selain sujud tanpa mengangkat benak
Karena mengingat
Di-Kau sepenuhnya setiap hari. 

* Puisi di atas ditulis karena terinspirasi lagu Sajadah Panjang karya Noah & Bimbo. 

Tertulis, kata-kata indah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan

Bandung, 24 September 2016
Pukul 08.46 WIB
- Herr Aldi Van Yogya -

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi