Terang untuk redup

Sumber gambar: hdw.eweb4.com
 
Hari yang cerah pada filosofinya pun dapat luruh jua karena hujan yang selalu datang tanpa menyempatkan diri berhenti sejenak seolah-olah tak peduli pada kata lelah. Mendung telah menggantung pekat di langit ketika si guru muda tetap meratapi hujan pembasah hari bersama dingin sebagai temannya. Ia arahkan pandangannya pada air yang sedang lincah menari di tanah dan sesekali suara kodok turut menginterupsi pertanda mereka bahagia menyambut hujan. Kulihat lagi ke halaman rumah, bunga putih di taman hari ini telah layu karena tak kuat menahan arus gempuran hujan serta layunya bunga putih nan cantik tersebut mengingatkanku pada si gadis bunga ketika dirinya jatuh sakit. Dirinya laksana bunga layu hari itu. Tetapi ingatan segera aku putar dari terang menuju redup. 

Seperti biasanya, buku agenda kesayanganku itu tersingkap lagi untuk yang kesekian kalinya. Isi cerita dalam buku itu telah terjamah lagi oleh sepasang mata indah milik si gadis bunga. Ia tak sungkan bertanya mengenai kadar akan rasa sukaku terhadap Presiden Joko Widodo serta aku hanya cukup membalas "Ya ginilah, rasa sukaku ke Jokowi emang gak selalu di atas. Kadang-kadang kayak grafik bisa naik-turun atau persis roda mobil lagi berputar." Ujarku pada si gadis bunga. Tumben Maureen tidak muncul padahal biasanya dia yang selalu menjamah muatan buku agendaku. "Hmmm, kayaknya punya cerita bagus lagi nih Herr Aldi." Tutur si gadis bunga tanpa sempat mengajak aku bicara. Sekarang aku biarkan dia menjamah cerita walau akhirnya aku turut menemaninya membaca.

                                                                                ***** 

Terang menuju redup? Mengapa demikian? Apa aku tidak salah baca? Barangkali masih ada sisa harapan aku salah membaca judul cerita di atas tadi. Kelopak mata aku coba gosok dengan memakai punggung ruas jari telunjuk kanan sambil berharap agar judul itu mengantongi kesalahan penulisan. Namun aku tak menemukan kesalahan dalam menulis judul cerita yang aku maksud karena realitanya pun demikian. Secara politis, aku memang seorang pendukung setia Presiden Joko Widodo semenjak dirinya mengemban amanah sebagai Gubernur Provinsi DKI Jakarta sampai sekarang menyematkan gelar Presiden Indonesia pada dirinya sendiri. Pria kurus nan sederhana tersebut aku beri dukungan karena rasa sukaku pada penampilan baju kotak-kotak serta kemeja putih berpadu celana hitamnya. Adapun alasan lain aku menyukai Presiden Jokowi, yakni karena aksi blusukannya mendatangi kampung-kampung penduduk, pasar tradisional, dsb. 

Jujur, kendati Jokowi maju dalam Pemilihan Gubernur DKI tahun 2012 dengan menggandeng Ahok menjadi calon wakil gubernurnya, tetapi di tahun 2012 aku sendiri justru belum tertarik dengan pasangan dari PDI-P & Gerindra bahkan sampai mereka mengantongi suara sebanyak 53,82%. Aku sendiri baru tertarik pada sosok Jokowi ketika beliau sudah hampir satu tahun memimpin ibukota tatkala aku duduk di bangku kelas sembilan. Nama Jokowi semakin sering aku sebut-sebut walau harus diselingi dengan interupsi berupa hinaan pada Jokowi yang aku balas dengan amarah. Maka dari situlah Jokowi selalu aku dukung apapun yang terjadi bagaimanapun pandangan orang pada dia.

Penghujung tahun 2013 tampaknya terhias dengan semakin kuatnya dukunganku pada Jokowi terlebih lagi saat dirinya merajai survey-survey calon presiden 2014 di atas elit-elit politik tanah air lainnya. Tak sampai di situ, saat liburan akhir tahun baru pun Kota Solo aku sambangi demi menyusuri sedikit jejak-jejak Jokowi semasa bertugas sebagai walikota selama tujuh tahun, terhitung sejak terpilih pertengahan 2005 sampai 2012. Loji Gandrung, rumah dinas Jokowi tercerabut pandangan mataku di tepi Jalan Slamet Rijadi serta patung Brigjend Slamet Rijadi sendiri di persimpangan Gladag. Sekilas aku menangkap tanda tangan beserta nama Jokowi pada prasasti peresmian patung Brigjend Slamet Rijadi. 

Hingga akhirnya tiba sepenggal momen dimana aku harus menampak kegoyahan besar karena banyaknya protes rakyat terhadap pencalonan Jokowi sebagai Calon Presiden Indonesia. Mereka bilang Jokowi telah lupa pada semua program kerjanya semasa kampanye calon gubernur dahulu. Bahkan para penentang status "calon presiden" bagi Jokowi ini tanpa sungkan ingin memulangkan Jokowi ke kampung halamannya. Jelas aku terganggu dalam menghadapi ini sampai rasa terganggu itu menggelayuti diriku berminggu-minggu sebelum akhirnya menghilang karena dukunganku untuk Jokowi sudah semakin mengalami penguatan secara signifikan. Aku nikmati ini dengan penuh kesenangan termasuk ketika melihat film dalam cakram padat yang menceritakan biografi Jokowi. 

                                                                              ***** 

Deklarasi bakal calon presiden-calon wakil presiden poros PDI-P tiba di hari Senin, 19 Mei 2014 hanya hampir dua minggu seusai ujian nasional berlalu. Dengan mengantongi suara sebanyak 18 persen lebih, PDI-P di bawah pimpinan Megawati Soekarnoputri merangkai jalinan koalisi dengan sejumlah elit parpol laksana Wiranto (Hanura), Cak Imin alias Muhaimin Iskandar (PKB), Surya Paloh (Nasdem) serta Sutiyoso (PKPI) sambil mengusung nama "Koalisi Indonesia Hebat" yang secara resmi mendukung Jokowi sebagai calon presiden dan Jusuf Kalla a.k.a JK sebagai calon wakil presiden bertempat di Gedung Joang. Deklarasi ini aku sambut baik sambil terus membuntuti perjalanan Jokowi-JK menghadapi Pilpres 2014. Tes kesehatan telah meloloskan beliau berdua. Kemudian bagaimana saat pengundian nomor urut? Jawabannya, angka dua pada salam dua jari selalu aku acungkan kapanpun dimanapun. 

"Dua mata, dua telinga, dua tangan dan dua kaki sebagai arti keseimbangan menuju Indonesia yang harmonis. Salam dua jari." - Jokowi -

Melewati musim kampanye, di tengah situasi apapun aku tetap mengarahkan dukungan untuk Jokowi kendati elektabilitas beliau sempat mengalami penurunan pada pertengahan masa kampanye. Pemilu tiba dengan sebagian survey yang memenangkan Jokowi dan sebagian yang memenangkan Prabowo. Tentulah banyak orang merasa kebingungan dalam menanggapinya, karena hasil pemilihan resmi KPU baru akan diumumkan tanggal 22 Juli 2014 dan benar saja, malam hari tanggal 22 Juli calon presiden beserta calon wakil presiden pemenang pilpres 2014 dipublikasikan dengan hasil Jokowi-JK telah resmi terpilih sambil beliau berdua mengantongi suara sebanyak 53,15% untuk selanjutnya dilantik tanggal 20 Oktober 2014, menggantikan SBY-Boediono usai purna masa bakti. 

Siapa sangka, seorang tukang kayu dapat melangkah mantap menuju pintu Istana Negara biarpun seorang panglima perang masih berupaya menghalangi perjalanannya ke sana. Hari Senin 20 Oktober 2014, di hadapan ratusan juta pasang mata rakyat, Jokowi melafalkan sumpah jabatan Presiden Republik Indonesia disusul JK melafalkan sumpah jabatan Wakil Presiden Republik Indonesia dan Alhamdulillah, Indonesia mengalami pergantian nahkoda kapten kapal secara mulus tiada halang-rintang untuk pertama kalinya sepanjang perjalanan sejarah dilengkapi acara pisah-sambut Presiden RI di Istana. Sejak hari itu, Indonesia sudah secara resmi berada di bawah kendali kapten kapal yang terlahir dari sebuah kesederhanaan dalam menjalani hidup di alam dunia selama nafas berhembus. 

Ingatan aku putar lagi ke masa lalu. Perlahan namun pasti, Jokowi sudah mulai menelurkan banyak kebijakan di awal masa jabatannya dan salah satu dari kebijakan Presiden Joko Widodo adalah pengumuman Kabinet Kerja. Kabinet ini mengantongi komposisi sebanyak 34 kementerian di bawah satu orang menteri. Beriringan dengan itu, rasa sukaku pada Presiden Joko Widodo tetap meluap-luap hingga hampir setengah tahun beliau memimpin, aku harus kembali goyah dalam waktu beberapa hari karena kenaikan BBM yang berbuntut pada demonstrasi untuk Presiden Jokowi sendiri. Mulanya aku biasa-biasa saja menanggapi itu, namun semakin lama aku semakin terkulai lemah karena membutuhkan waktu lama untuk bisa bangkit lagi seperti sedia kala. 

Bagai sadar dari mabuk, aku mengenal apa makna kata "fanatik" dengan arti berpikiran sempit, terlalu cinta pada sesuatu/seseorang tanpa adanya keinginan untuk mendengar opini orang lain. Aku merasakan hal itu benar tetapi aku tetap menikmati fanatismeku selama lebih dari satu tahun. Dulu, aku sangat kesal bila mendengar opini bernada miring mengenai hal-hal yang aku suka hingga aku meluapkan amarah. Namun kini, kubiarkan opini-opini bernada miring bergentayangan di sekitarku tanpa aku tanggapi penuh. 

                                                                             *****

Pertengahan 2016 ditakdirkan menjadi titik balik akan kadar dukunganku untuk Presiden Joko Widodo. Kuakui, pertengahan tahun ini rasa sukaku pada Jokowi mulai memudar namun bukan berarti aku benci padanya sebab impianku menjadi seorang presiden masih tetap terbesut sampai sekarang ditambah dengan kehadiran Gloria si Paskibraka 2016. Masalah kewarganegaraan ganda melambungkan namanya ke seluruh penjuru tanah air lengkap bersama kecantikan parasnya yang membuat ia semakin populer. Dari titik inilah aku tahu, Gloria memiliki kesamaan mimpi denganku yang tak lain tak bukan menjadi seorang presiden usai menavigasikan diri menjadi seorang pilot pesawat ketika masih kecil dulu.

Karena ketegaran, kesabaran serta nasionalisme yang turut lepas dari kekurangannya pula, aku rasa Gloria patut aku daulat sebagai panutan setelah Presiden Joko Widodo. Sekali lagi aku katakan, aku tak pernah tahu akankah Gloria menyandang status sainganku dalam mencapai jabatan Presiden Republik Indonesia ataukah menyandang status Wakil Presiden Republik Indonesia ketika diriku menduduki jabatan presiden. Tetapi yang penting, aku telah menerawang bila senyum rakyat telah menanti langkahku dan Gloria di tepi teras Istana Presiden.

Terakhir, aku tepikan pada kawan-kawan bahwa sejatinya rasa fanatik akan dapat menjatuhkan diriku di lain harinya terlebih lagi apabila Presiden Joko Widodo mengalami kejatuhan tanpa aku ketahui kapan dan status Pro-Jokowi tetap aku sematkan biarpun terang telah berganti dengan redup...

Raut wajah si gadis bunga aku tatap dengan sepenuh penghayatan hati. Ia memang turut menyaksikan sendiri bagaimana diriku mendukung Presiden Joko Widodo, tetapi ia tak mengantongi banyak harapan selain menemaniku melangkahi terang yang telah berganti dengan redup tatkala ruang hatiku tak ingin beralih...

Tertulis, kisah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan.

Bandung, 24 September 2016
Pukul 07.38 WIB
-Herr Aldi Van Yogya-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi