Bimbang

 
Sumber gambar: wallup.net

Jalan Raya Montreal-Saint Raymond, Quebec, Kanada saat fajar akan menyingsing. 


Apa yang kalian ingat andai mendengar fajar menyingsing? Pastilah kehadiran sang surya bersama sejuta harapan akan hari yang cerah bagi lentera jiwa yang redup. Kuakui itu sangat benar tetapi ada kalanya matahari malu-malu mengguratkan cahaya kuningnya di atas sepenggal kebimbangan hebat nan berarti yang mengetuk pintu hatiku. Kebimbangan apa yang membuatku berpikir demikian? Penolakan cinta oleh si gadis bunga? Bukan. Lantas apa? Aku tahu jawabannya. Tentu kepadatan hari tiada ampun dalam rangkaian kisah masa remajaku. Aku hanya ingin waktu kosong kendati telah mencapai puncak tertinggi yang tak lain tak bukan ialah Kelas 12 dan hal tadi terus kuingat dalam perjalanan ke Saint Raymond, kota kecil di pedalaman Quebec sana. 

Aspal abu-abu hasil metamorfosis warna hitam legam ini aku libas dalam kecepatan tinggi dengan menggerungkan mesin mobil carteran dari Montreal bersama kawan-kawan sebayaku. Pemandangan alam sepanjang jalan berganti-ganti dalam waktu singkat, mulai pemandangan kota metropolitan, sungai, hamparan padang rumput, sungai hingga pohon-pohon Maple. Mereka belum terlihat jelas, tetapi di musim dingin ini pohon-pohon Maple justru semakin sering bergoyang dengan kencang laksana hendak melambai-lambai padaku tanpa henti. Kuakui itu benar, namun tak ada salahnya aku mencoba bertanya pada alam. 

"Saint Raymond-1 km" Sebuah papan plang lalu-lintas menyembul dari balik rerimbunan daun Maple yang sejurus kemudian disambut Gloria dengan ucap tutur-kata "Bentar lagi nyampe, siap-siap Herr Aldi." Aku terkejut bagai disetrum ucapan Gloria. Tetapi celetukan gadis berambut pendek seleher ini segera aku benarkan sampai Maureen menjamah buku agendaku di dashboard mobil. Pasti tangannya akan menjamah cerita dibantu sepasang matanya yang mulai memantulkan bayang-bayang cahaya fajar. Benar saja itu terjadi sekonyong-konyong. 

"Ih, kenapa bisa sampe serak gitu Herr Aldi? Dulu mah asa enggak pernah serak deh." Dialek blasteran antara Indonesia-Sunda dalam kemasan gaya bicara ala remaja telah menghujam kesunyian fajar milik negeri daun Maple ini. Manusia-manusia di belakangku dan dirinya turut membuka kelopak mata kala mendengar hujaman suara Maureen. "Wah enggak tahu Maureen. Asalnya sih bersin-bersin sejak Hari Jumat, terus Hari Senin lanjut batuk-batuk sampai suara serak Hari Selasa." Sengaja kubiarkan jawaban menggantung tanpa akhir yang jelas sebelum melanjutkan cerita kendati Maureen mengangguk-angguk sendiri bersama kupluk abu-abu si pelindung rambut panjang. Kini jendela mobil aku buka selebar-lebarnya agar bisa menikmati hembusan angin pagi. Kukatakan sekali lagi, memori kebimbangan masih menjalar dalam diri usai Maureen bertanya. Memori yang bangkit lagi. 

Aku pasti tahu, tangan Maureen telah mencomot buku agenda agar sebagian kecil isinya terjamah mata. Dari situ, aku memutuskan bercerita mengenai sepenggal masa bimbang pada gadis ini. 

                                                                        ********** 
Updated reminder: 
1. Senin (05/09/16): Formatif PKN,
2. Rabu (07/09/16): - Formatif Ekonomi (persamaan dasar akuntansi),
                                - Formatif Bahasa Indonesia (teks cerita sejarah),
3. Kamis (08/09/16): Seminar Agung Usadi bareng orang tua di aula jam 8-12. 

Bruk! Serentetan formatif bin ulangan harian menubruk ruang hatiku usai menjalani ulangan harian dalam jumlah yang sama seminggu lalu. Aku tak sudi menerima kehadiran formatif kendati hal tersebut merupakan menu wajib bagi para penyelam samudera ilmu kehidupan. Mengapa sebulan pertama masa belajar harus dihabiskan dengan mengulangi materi hasil pembelajaran dalam bentuk formatif? Mengapa harus ditambahkan dengan tugas di rumah? Aku terus mempertanyakan itu ditambah dengan keluhan kepada guru di sekolah. Bu Eka sudah kutepikan keluhan ini. Sebagai saran, ia memintaku menciptakan skala prioritas kegiatan selama kelas 12 ini sebab demi sepenggal pencapaian terkadang memerlukan pengorbanan. Pengorbanan yang dimaksud adalah pergeseran waktu kegiatan antara belajar dengan bersantai dan tentu hal tadi akan tampak amat sangat kontras. 

Hari Jumat sore tertanggal 2 September 2016 itu pun aku isi dengan menyeret rasa terbebani berbalut lelah akan banyaknya aktivitas di sekolah. Formatif, kuulangi sekali lagi akan selalu datang berbondong-bondong pada Bulan September lalu akan lenyap setelah selesai ujian tengah semester (UTS). Namun, sekarang UTS sudah dihapuskan dari kalender akademik sekolah. Penghapusan UTS bukan berarti menyelesaikan masalah, sebab sampai sekarang aku merasa masih ada sisa pertanyaan terkait formatif. Kapan proses pembelajaran akan berlangsung tanpa formatif? Aku hanya bisa menunggu semua sukar berakhir di tempat aku mulai meniti impian berbarengan dengan perasaan jatuh cinta pada si gadis bunga. 

Sabtu itu aku habiskan dengan berenang di Siliwangi bersama keluarga pada siang hari. Meski demikian, aku tetap tidak lupa menuntaskan proyek menembus formatifku Senin siang menjelang sore. Alhamdulillah, formatif PKN berhasil aku tunaikan dengan jawaban terbaik. 

Cukup dalam hitungan jam, batuk mulai berdentum-dentum kencang ketika sudah sampai di rumah mulai sore sampai malam hari. Beragam upaya sudah aku lakukan agar batuk bisa diredam, namun tetap saja batuk terus berdentum-dentum semakin keras hingga tidur malam harinya setelah menyaksikan film Habibie & Ainun di layar kaca televisi. "Uhuk-uhuk!!! Uhuk-uhuk!!!" Paginya sekitar pukul 02.45 WIB aku terbangun dengan dentuman batuk yang sama kencangnya dengan kemarin. Oleh karenanya suaraku berubah tak seperti biasanya sampai di sekolah. Banyak orang bertanya mengapa suaraku berbunyi demikian. Cukup kututurkan dengan lirih, "sedang batuk dan serak." 

Hingga akhirnya aku dihadapkan pada dua pilihan. Tetap masuk sekolah keesokan harinya agar bisa mengikuti formatif Ekonomi dan Bahasa Indonesia atau satu hari beristirahat di rumah dengan risiko bin konsekuensi formatif susulan di kemudian hari. Inilah yang kusebut titik kebimbangan dan semalaman penuh aku larut dalam bimbang, bahkan sampai Subuh menjelang pun masih demikian. Waktu menjelang fajar terbit ini aku gunakan tuk berpikir matang-matang lalu pada ujungnya diriku sendiri mengambil keputusan beristirahat di rumah supaya dapat menyusul formatif yang telah tertinggal hari ini, sebagai dampak keputusan menurut pilihan kedua. Tak hanya itu, terpikir pula olehku akan keberanianku mengambil keputusan besar seperti Presiden Joko Widodo walau harus melintasi dilema panjang lantaran pemimpin mesti cepat mengambil keputusan apapun akibatnya sebab bila terlalu fokus memikirkan akibat dari keputusan yang akan diambil, artinya kita adalah penakut. 

Pilihan kedua aku biarkan terjadi tanpa kepastian mengenai kapan formatif susulan terlaksana. 

                                                                        ********** 
Tersampaikan sudah semua ceritaku mengenai masa bimbang. Aku lihat sepasang mata Gloria meratapi buku agenda dalam genggaman tangan Maureen sebagai pertanda ia turut merasakan pengalaman pribadiku. Mobil ini terus melaju kencang melintasi bangunan sebuah kota kecil karena telah membuatku kehilangan kesadaran jika kota kecil ini tak lain tak bukan adalah Saint Raymond. Ya Allah, mengapa bisa demikian? Bukankah jarak tempuh ke Saint Raymond hanya tinggal satu kilometer lagi, tetapi aku berpikir masih 11 km lagi? 111 km lagi? Tiada yang bisa memberi jawaban memuaskan di Saint Raymond kecuali puncak Mont-Laura di ujung sana. 

Usai memarkirkan mobil, aku mengajak Si gadis bunga, Maureen, Gloria diikuti Akbar, Abang, Ariq dan Ragil mendaki Mont-Laura walau harus kelelahan melintasi medan terjal. Seharusnya puncak Mont-Laura terhampar lapang setelah formatif tertunaikan. Namun apa boleh buat, kini Mont-Laura harus menemaniku dalam rangkaian masa bimbang...

Tertulis, kisah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan. 

Bandung, 7 September 2016
Pukul 08.41 WIB
-Herr Aldi Van Yogya-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi