Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2016

Filosofi Awan Pagi

Penggalan kisah ini bermula ketika seorang guru muda melangkahkan kaki dan mendudukan tubuhnya di kursi milik gerbong kereta light rapid transit alias LRT. Setengah tahun menjalani hari-hari sebagai seorang guru bahasa Jerman, ini adalah kali pertama kalinya sang guru muda tersebut pergi menggunakan Kereta LRT dari rumahnya di dekat Jalan Dago ke Padalarang, tepat dirinya mengajar. Namun, kali ini bukan Kereta LRT-nya yang akan diceritakan. Melainkan sepenggal kisah mengenai filosofi awan pagi. Usai fajar menyingsing, aku terduduk di dalam salah satu gerbong kereta LRT bersama banyak orang di sekitarku meskipun diriku tak mengenal siapa mereka. Kereta bergerak perlahan, meninggalkan halte pemberhentian dan berlari menembus batasan geografis dan administratif Kota Bandung. Sesekali, aku mengarahkan pandangan pada jendela kereta dan melihat suasana Kota Kembang Bandung di luar sana. Ribuan bahkan jutaan kendaraan berlalu-lalang melintasi jalanan sambil sesekali membunyikan klak

Filosofi sepenggal kesunyian di balik kaca lokomotif

Gambar
Suatu senja di dalam ruang kelas . Senja hadir tanpa ditemani oleh sang Matahari. Hanya mendung bersama rintikan hujan yang hadir bersama dengan lamunan seorang guru muda. Hari Kamis ini terasa amat sangat berbeda dengan Kamis yang sebelumnya karena aku tak pernah menemukan arti filosofi akan sepenggal kesunyian. Namun, kali ini aku menemukan arti filosofi akan sepenggal kesunyian tersebut.  Ibarat kaca lokomotif, aku merasa pandangan mataku seperti melihat rel kehidupan namun rangkaian kereta kehidupan terasa seperti diriku sendiri yang berjalan mundur dari waktu ke waktu. Aku mencoba mengingat kembali akan apa yang telah terjadi sepanjang hidupku sebagai seorang Guru Bahasa Jerman. Ujung-ujungnya, aku kembali pada satu titik saat bertemu dengan Stevie, murid kesayanganku. Paras cantiknya membuat siapapun merasa hatinya luluh begitu juga dengan suara indahnya. Siapapun pasti sangat ingin mendengarnya berbicara, terlebih lagi dalam Bahasa Jerman saat bersamaku.  Rasanya mem

Lokomotif langsiran

Gambar
Aku tak tahu apa yang menyebabkan diriku menjadi senang berfilosofi layaknya seorang sastrawan handal. Aku menorehkan sebait puisi dan cerita berbahasa puitis yang membuat hati setiap orang bisa leleh tatkala membacanya. Kini, aku kembali menuliskan bahasa puitis untuk kalian baca sambil mendalami arti indahnya.  Lokomotif, merupakan sebutan untuk salah satu bagian kereta api yang memiliki fungsi untuk menarik belasan atau puluhan gerbong di belakangnya guna melaju sampai ke tujuan. Lokomotif tentunya bukan kendaraan automatic sebab ia dibantu bergerak oleh seorang masinis dan asistennya, atau bahasa kerennnya adalah kapten dan ko-masinis. Hahahaha, seperti pilot sama ko-pilot saja... Aku hanya bisa tertawa tatkala mengingat bahasa keren dari pengemudi lokomotif kereta api. Ini kisah ketika dirku memahami arti lain dari "lokomotif langsiran." Beberapa bulan pertama menjadi seorang Guru Bahasa Jerman sekaligus wali kelas muda, aku merasa seperti menjadi seorang ke

Anak SMP aja pada nanya "Kamu setuju enggak Dekrit Gus Dur tahun 2001 dijalanin?"

Gambar
                                                                                                                                Tulisan ini tidak mengandung maksud untuk menyinggung siapapun yang terkait dengan perjalanan karier politik Gus Dur dan bukan untuk mengorek luka lama pula tentang akhir dari masa kekuasaan Gus Dur sebagai Presiden RI ke-4, namun ini hanyalah setangkup gagasan seorang Guru Bahasa Jerman untuk bisa belajar dari perjalanan sejarah tanah air bersama serdadu burung-burung Manyar alias murid-muridku yang kini tengah beranjak remaja.  "Herr, setelah reformasi presiden mana yang bikin dekrit ya? Setahu aku cuma Soekarno doang yang bikin dekrit, tapi itu tahun 1959. Orde baru juga belum ada." Alex, seorang murid laki-laki di kelas membuyarkan lamunanku dengan pertanyaannya tersebut diikuti oleh tiga orang gadis yang tak lain dan tak bukan adalah Hanum, Chelsea beserta Stevie murid kesayanganku. Mereka memberi isyarat bahwa mereka memiliki pertanyaan

Hati kalian kok cantik banget sih... Ujar seorang kapten pilot.

Gambar
                   Entah apa yang menyebabkan aku menjadi seorang kapten pilot dalam sebuah penerbangan. Awalnya aku merasa bingung dengan semua ini, akan tetapi kemudian aku mengambil keputusan untuk menikmatinya saja. Barang kali ini dapat menjadi sebuah pengalaman yang tak terlupakan sepanjang hidup.  Pagi hari itu usai briefing di bandara, aku melangkahkan kaki masuk ke sebuah pesawat Boeing 747-400 si raksasa langit, pesawat favoritku sejak dulu. Langit masih belum begitu terang saat itu, baru segaris cahaya matahari tampak di horizon timur seraya jemari tangan kiriku menarik koper berukuran sedang dan langsung mengangkatnya ke ruang kokpit di dek atas. "Pagi kapten..." Begitulah sapaan para awak pesawat ketika diriku melintasi kabin. "Yeah, morning..." Ujarku singkat. Tak lama berselang aku terduduk di dalam ruang kokpit.  Sambil menanti Allen dan Maureen, dua orang yang merupakan sesama awak kokpit datang, aku membuka peta jalur penerbangan sam

Bunga Malam

Tersirat keinginan untuk menulis kata "gadis malam" di paling atas, namun entah mengapa rasa takut menghalangi keinginan itu. Ingin pula menulis kata "kupu-kupu malam," akan tetapi itu sudah dijadikan judul untuk sebuah puisi bernada milik seorang musisi ternama. Maka tertulislah "Bunga Malam" sebagai penggalan kisahku saat ini.  Semalam selepas shalat Isya, aku mendengar telepon selulerku berdering seraya mengeluarkan getaran tepat di atas meja berbahan kayu. Getaran itu terasa sangat kencang oleh telapak tanganku dan ketika jemariku mencoba membuka pelindungnya, ternyata hanya pesan singkat Whatsapp yang masuk. Aneh, biasanya nada dering milik Whatsapp bergetar hanya dalam waktu yang sangat singkat. Namun entah mengapa getaran kali ini terasa lebih lama. Oh, rupanya aku tidak sempat membaca bahwa ada pesan bertubi-tubi yang hinggap di ponselku. Pesan-pesan itu mengingatkanku pada serdadu burung-burung Manyar di dalam kelas. Namun, rupanya hari itu i

Aku, Gus Dur dan serdadu burung-burung Manyar

Gambar
Aku memang tidak bisa melihat apa pun di balik awan dan hanya bisa terdiam tepat di balik hujan, atau di bawah hujan lebih tepatnya. Sebuah buku tentang salah satu dari tujuh Presiden Indonesia baru saja selesai aku baca. Siapakah beliau? Jawabannya tentu saja Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Beliau merupakan presiden keempat yang menjabat sejak tahun 1999 hingga 2001. Singkat memang, namun Gus Dur selalu dikenang akan pluralisme dan toleransi sepanjang masa kepresidenannya. Kini, bertahun-tahun setelah beliau pergi untuk selamanya, koloni burung-burung Manyar hinggap di sarangnya dan bertanya kepadaku tentang siapa sosok Gus Dur seraya membuyarkan lamunanku di balik kaca jendela.  Koloni burung-burung Manyar itu sudah jelas murid-muridku di sekolah. Sebagian dari mereka kini ikut mendalami ilmu Bahasa Jerman bersamaku, sedangkan sebagian lagi tidak ikut mendalami ilmu Bahasa Jerman. "Herr, kalo presiden yang suka toleransi-pluralisme itu betul Gus Dur kan?" Hanum dan Ch

Ketika guru Bahasa Jerman kembali berkisah: Sepekan pertama

Entah apa yang menjadi sebab mengapa cuaca selalu tampak cerah dua hari belakangan ini, padahal sebelumnya hujan tak pernah lupa mengguyur tanah bumi lengkap dengan isinya. Kegiatan belajar dan mengajar baru saja aku akhiri di waktu Ashar dan kini merupakan saat yang tepat untuk melakukan kilas balik tentang perjalanan selama sepekan pertama ini yang tentunya tidak akan lepas dari kicauan indah serdadu burung-burung Manyar dan juga Stevie, murid kesayanganku.  Masih nampak jelas di dalam benak ketika aku melihat seorang gadis yang tengah beranjak remaja duduk di pinggir hamparan rumput bergoyang. Ekspresinya tampak sangat murung tak terbendung. Ketika kutanya mengapa, ia hanya mengatakan bahwa dirinya masih amat sangat merindukan libur panjang dan ia pula merasakan jet lag karena harus masuk sekolah lagi. Aku hanya tersenyum tipis mendengar kata-kata dirinya yang terdengar seperti kicauan indah burung Manyar dan sebagai guru Bahasa Jerman sekaligus walikelasnya, aku pun mencoba un

#Renungan: Perjalanan terberat

Lupakan sejenak kisah-kasih di sekolah bersama murid-muridku tercinta, namun cobalah untuk merenung sekarang. Renungkan sebuah perjalanan. Renungkan sebuah perjalanan terberat, terpanjang dan terlama yang pernah kita alami sepanjang hidup. Kemanakah itu? Jawabannya, tentu saja ke masjid.  Seperti yang telah kita ketahui, masjid merupakan tempat ibadah bagi umat Muslim dan bagi siapapun yang merasa dirinya beragama Islam, tentu harus bersedia untuk melangkahkan kakinya ke masjid guna melaksanakan ibadah shalat lima waktu. Aku mendapatkan ilham untuk pergi ke masjid ketika aku baru saja selesai mengajar Bahasa Jerman dan tanpa berpikir dua kali, aku segera berjalan menuju ke sebuah masjid besar. Di dalamnya sudah ada belasan-puluhan orang datang lebih dulu dengan tujuan untuk melaksanakan shalat Ashar berjamaah.  Iqomah pertanda shalat akan segera dimulai berkumandang tidak lama setelah aku mengambil air wudhu. Mumpung masih kosong, aku mengambil tempat di paling depan tepat di

Ketika seorang guru berkisah: Berkaca pada hari pertama

Hari terakhir telah berlalu dan kini telah berganti dengan hari pertama. Semua terasa amat sangat berbeda dan yang sama hanyalah momen indah ketika fajar terbit bersama takdirnya dan senandung koloni burung Manyar pun tak ikut ketinggalan saling menyahut. Embun pagi saat ini telah menempel begitu lengket di kaca. Saat aku menggeser kaca jendela ke sebelah kiri, pandanganku secara langsung tertuju pada seseorang di pinggir rumput-rumput yang bergoyang. Tanpa pikir panjang aku menghampiri dirinya.  Langkahku semakin dekat dengannya dan semakin lama semakin jelas siapa orang itu. Dialah Stevie. Entah apa yang membuat dirinya duduk termenung tepat di hadapan rumput-rumput yang bergoyang pagi ini sebab biasanya ia selalu datang ke kelas paling pertama dan tampak ceria ketika menjalani hari-harinya di sekolah. Ah, sudahlah. Aku tidak perlu berspekulasi tanpa bukti yang jelas karena itu hanya akan menimbulkan kebingungan dalam benak serta batin. Kemeja lengan panjang berwarna Putih polos

Burung Manyar betina yang enggan putus asa

Hari berawal dengan naungan cahaya dari sang surya tepat ketika fajar menyingsing bersama takdir. Dari balik kaca jendela yang terhalang oleh embun pagi, aku menatap rerumputan bergoyang berwarna kuning karena sinar matahari. Ketika jendela dibuka, aku dapat mendengar dengan jelas suara burung-burung Manyar berkicau seperti ikut mengawali hari.  Logikanya mungkin agak aneh. Burung Manyar amat menggemari biji-bijian umumnya bersarang di pedesaan yang masih memiliki hutan atau lahan pertanian nan luas di pinggirnya. Namun, saat ini aku berada di tengah sebuah kota satelit dan sangat sulit untuk mendengarkan kicauan burung-burung Manyar. Tetapi sudahlah, aku hanya menikmati semua itu. Kini aku ingin bercerita tentang sebuah momen bersama Stevie murid kesayanganku.  Pagi hari ketika koloni serdadu Burung-burung Manyar masih bersenandung ria sambil sahut-menyahut satu sama lain, dia sudah datang ke kelas. Bahkan dia adalah murid yang paling pertama datang. Aku mencoba untuk menyamb

Berkaca pada hari terakhir

Tepat sepekan lalu, aku baru saja mengakhiri sebuah perjalanan panjang nan indah yang meninggalkan setangkup kesan. Aku mengembara ke Tanah Dieng bersama murid-muridku juga teman-temanku semenjak remaja yang kini telah menjadi guru pula. Kini, aku sudah sampai pada hari terakhir. Sejatinya, hari terakhir di pekan libur panjang tidak pernah dinanti oleh semua orang. Namun apa boleh buat, pada kenyataannya inilah yang harus dihadapi.  Usai terjaga dari tidur dan melaksanakan shalat Subuh sebanyak dua rakaat, memoriku langsung melayang pada masa-masa awal dari libur panjang. Ketika itu, aku baru saja selesai membagikan puluhan buku rapor kepada murid-murid sekelasku. Mula-mula mereka terlihat tegang ketika hendak menerima buku rapor, namun setelah membuka sambil membaca isinya satu per satu mereka melompat-lompat kegirangan pertanda nilai pembelajarannya bagus,  Tidak terkecuali Stevie. Ia amat girang setelah mengetahui semua nilai rapornya bagus termasuk pelajaran Bahasa Jerman.

Senandung Burung Manyar

Hari telah beranjak senja ketika surya bergeser ratusan derajat ke ufuk timur. Perlahan-lahan, keramaian Kota Yogyakarta menghilang jauh dari pandangan sambil seorang guru muda pergi mengayuh sepeda ontel ke sebelah utara, mendekati pedesaan di perbatasan dengan Sleman. Peluh menyiram kulitnya dan memaksa guru muda tersebut untuk berhenti sejenak.  Tanpa terasa sudah dua hari belakangan ini aku berada di Kota Yogyakarta. Sengaja aku datang kesini untuk memberikan setangkup pemaparan tentang pengalamanku mengajar Bahasa Jerman selama beberapa bulan terakhir ini. Memang masih terlalu muda untuk membagikan pengalamanku sebagai seoranag guru. Akan tetapi sudahlah, jangan pernah menyia-nyiakan yang namanya kesempatan karena itu belum tentu datang lebih dari satu kali.  Kembali pada kisah semula. Aku terduduk tepat di pinggir hamparan sawah-sawah yang tengah menguning bersama sang sepeda ontel pinjaman. Aku memarkirkan sepeda ontel tersebut tepat di pinggir kaki kananku. Alam rupany