Aku dan bunga yang layu

Lupakan senja dengan rumput yang bergoyang tuk sejenak. Lupakan mentari senja yang bersinar jingga tepat di atas rerumputan. Kini, coba tengoklah satu cerita ketika mentari senja menghilang sesaat. Ketika rumput yang bergoyang tunduk kepada hujan. Ya, aku ingin bercerita tentang salah satu kisah lain dari senja. 

Tiada mentari, tiada langit biru dan tiada awan putih. Kini, semua itu berganti dengan mendung yang datang bersama hujan. Aku baru saja mengakhiri kegiatan mengajar Bahasa Jerman di sekolah tepat ketika rintikan hujan datang untuk menciptakan embun di dinding kaca. Sekolah mulai terasa sunyi, hanya ada sebagian kecil siswa dan guru di sini, termasuk diriku. Aku sedang mempersiapkan diri untuk pulang ke rumah bergaya Belanda seraya membereskan semua peralatan yang kubawa.

Alat tulis, tempat minum, flash disk beserta tiga buah buku aku tempatkan di dalam tas ransel. Tinggal laptop berwarna hitam legam yang belum aku masukkan. Layarnya masih menyala terang, menyinari diriku di kelas saat semua muridku telah pulang. Hanya dalam hitungan detik, laptopku telah padam. Tinggallah aku sendiri dalam kegelapan.

Belum sempat aku memasukkan laptop ke tas cangklong, telepon selulerku mengeluarkan getaran kecil. Aku mencoba membaca arti getaran itu. Oh, rupanya hanya sebuah pesan singkat dalam aplikasi "Whatsapp" dari Mr. Allen, sang guru Bahasa Inggris.

"Herr, hari ini asa enggak liat Stevie. Tau enggak dia kemana?" 

"Aduh, punten pisan Mr. Allen. Katanya hari ini Stevie lagi enggak enak badan, jadi dia enggak masuk sekolah. Barusan pas jam pelajaran Bahasa Jerman dia juga enggak ada. Emang kenapa len?" 

"Barusan waktu ngebongkar-bongkar berkas, saya enggak sengaja nemu buku Bahasa Inggris punya Stevie. Kayaknya ketinggalan tempo hari. Niatnya sih mau balikin lewat ente, tapi liat cuaca sih mendingan nanti aja." 

"Ok, sip deh kalo gitu. Sampe ketemu lagi ya!"

"Ok!!!" 

Hari ini terasa sangat berbeda bagiku. Sejak datang ke sekolah tadi pagi sampai masuk sesi pelajaran Bahasa Jerman di jam pertama, aku sama sekali tidak melihat Stevie. Awalnya aku berpikir dia datang terlambat. Akan tetapi saat aku tengah mengajarkan murid-muridku menyuarakan kata-kata dari Negeri Panser, ibunya mengirim pesan singkat melalui Whatsapp. Ia memberitahuku bahwa Stevie tidak bisa masuk hari ini karena kondisi kesehatannya melemah. Aku hanya bisa memakluminya.

Merasa sudah siap, ruang kelas aku tinggalkan seraya menutup pintu kaca. Di bawah, segera aku menyalakan mesin mobil dan memacunya tepat di bawah rintikan hujan. Aku mengemudikan mobil hanya seorang diri. Sepanjang perjalanan, pikiranku tertuju pada suasana hari ini. Cuaca mendung dan murid kesayanganku tidak hadir, padahal semangatku sudah seperti bunga yang mekar. Tetapi, sekarang semangatku sudah menjadi bunga yang layu.

"Stevie, Stevie... Was gesachst mit dir am heute? Warum du kannst krank?" (Stevie, Stevie... Apa yang terjadi denganmu hari ini? Kenapa kamu bisa sakit?") Kalimat itu terlintas di dalam benak ketika aku mengemudikan mobil saat aku hampir melamun. Namun, suara Adzan Maghrib di radio membuyarkan pandanganku. Menepilah aku pada sebuah masjid besar untuk melaksanakan shalat.

Rupanya, suara merdu sang imam dalam Shalat Maghrib berjamaah kali ini dapat menenangkan pikiran-bathin dari rasa kehilangan sesaat. Ketika shalat pandanganku hanya tertuju pada tempat dahi menyentuh lantai ketika bersujud dan usai shalat, pandanganku terarah kepada seorang anak perempuan di depan pintu masjid. Lalu aku menghampirinya.

"Neng, ieu gorengan hargana sabaraha?" ("Nak, ini gorengan harganya berapa?")
"Sadayana lamun 1000 kang, badé mésér?" ("Semuanya cuma 1000 kak, mau beli?")

Lalu aku mengiyakan pertanyaan si gadis penjual gorengan. Usai melakukan perkenalan singkat, aku tahu bahwa gadis penjual gorengan ini ternyata seusia dengan Stevie. Banyak cerita yang aku dapat dari dia dan yang paling penting, aku harus banyak bersyukur karena nasibku masih jauh lebih baik darinya. Dahulu ia sangat ingin meneruskan pendidikan ke jenjang SMP lalu mengejar cita-citanya sebagai guru. Namun apa boleh buat, semangatnya yang sudah seperti bunga mekar kini harus menjadi seperti bunga yang layu. 

Aku pun memahami, bunga layu yang kumiliki ternyata tidak sepenuhnya layu. Aku berhasil menyelesaikan pendidikanku di semua jenjang dan sekarang aku pula berhasil menjadi seorang guru Bahasa Jerman. Lalu, bagaimana dengan semangatku tuk bertemu murid kesayanganku hari ini? 


Ah, sudahlah... Hanya hari ini dia tidak ikut mendalami makna indah dari Bahasa Jerman bersamaku. Esok hari dan ke depannya, ia akan selalu hadir untuk ikut mendalami makna indah dari Bahasa Jerman bersama denganku. 

Sampai jumpa lagi Stevie... Kamu akan selalu membuat bunga layuku kembali segar dan bermekaran di pagi juga sore hari... 

Tertulis, kata-kata indah dari seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan.



Jumat, 1 Januari 2016
Pukul 17.52 WIB. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi