Bunga Malam

Tersirat keinginan untuk menulis kata "gadis malam" di paling atas, namun entah mengapa rasa takut menghalangi keinginan itu. Ingin pula menulis kata "kupu-kupu malam," akan tetapi itu sudah dijadikan judul untuk sebuah puisi bernada milik seorang musisi ternama. Maka tertulislah "Bunga Malam" sebagai penggalan kisahku saat ini. 

Semalam selepas shalat Isya, aku mendengar telepon selulerku berdering seraya mengeluarkan getaran tepat di atas meja berbahan kayu. Getaran itu terasa sangat kencang oleh telapak tanganku dan ketika jemariku mencoba membuka pelindungnya, ternyata hanya pesan singkat Whatsapp yang masuk. Aneh, biasanya nada dering milik Whatsapp bergetar hanya dalam waktu yang sangat singkat. Namun entah mengapa getaran kali ini terasa lebih lama. Oh, rupanya aku tidak sempat membaca bahwa ada pesan bertubi-tubi yang hinggap di ponselku. Pesan-pesan itu mengingatkanku pada serdadu burung-burung Manyar di dalam kelas. Namun, rupanya hari itu induk dari salah satu prajurit pasukan serdadu Manyar mengirimi pesan singkat padaku. 

"Herr, maaf buat besok Stevie enggak bisa masuk sekolah soalnya dia demam dari tadi sore ditambah muntah-muntah. Kayaknya sih masuk angin, tapi nanti mau dibawa ke dokter buat dicek sakit apa. Vielen dank und Auf Wiedersehen." Sontak aku terkejut membaca pesan singkat itu sambil membalasnya singkat. Tadi siang sepanjang hari, aku melihat dirinya tidak mengeluhkan rasa sakit sedikit pun. Stevie malah terlihat cerah ceria dan energik seperti kesehariannya di sekolah. Ia melepaskan gelak tawanya ketika melontarkan dagelan alias lawakan bersama teman-temannya. Aku pun ikut tertawa lepas tak jauh darinya. 

Saat istirahat, dia menghampiriku dan bertanya dengan penuh semangat, "Herr, besok Bahasa Jerman belajar apa?" Dengan santai aku memberikan jawaban "Masih tentang himmelsrichtungen (arah mata angin dalam Bahasa Jerman). Insha Allah minggu depan kita belajar tentang hobi." "Oke, vielen dank Herr." "Bitte schön Stev..." Lalu ia pergi meninggalkan diriku dengan penuh semangat. Kembali dirinya melepaskan dagelan-dagelan lucu seperti Burung Manyar yang tengah tertawa di atas padang rumput. 

Hingga hari berusia senja sekalipun, dirinya masih terlihat sangat energik dan ia pun melepaskan dagelan sambil membuat kelas menjadi riuh-rendah. Aku pun tak ketinggalan tertawa terbahak-bahak sampai seorang murid berusaha menghentikan gelak tawaku. 

Sungguh aneh tapi memang nyata, tadi siang Stevie sangat mampu melepaskan dagelan kepada teman-teman dan gurunya. Namun sekarang, dirinya harus merintih sambil mengeluh karena rasa sakit pada raganya. "Stevie, Stevie... Was gesachst mit dir jetzt?" (Stevie, Stevie... Ada apa sama kamu sekarang?" Pertanyaan itu timbul dalam batinku sambil memandang ke langit malam. Gelap, dan hanya beberapa butir bintang terlihat oleh pandangan mata ditemani oleh sang rembulan. Malam ini, sang rembulan sudi menampakkan seluruh bagiannya kepada Bumi. 

Tiba-tiba, pandanganku tertuju pada sekuntum Bunga Pancawarna di halaman. Indah memang. Aku merasa kegelapan malam tidak mampu menghilangkan kecantikan bunga Pancawarna dan aku pun menatap bunga itu. Hanya dalam hitungan detik usai mengarahkan tatapan dan pandangan pada sang Pancawarna, batinku mulai menciptakan satu spekulasi sendiri tentang sebab mengapa murid kesayanganku jatuh sakit tepat ketika kegelapan malam tengah mengepung separuh Bumi. Kemudian usai berpikir sambil merangkai spekulasi seorang diri, aku memberanikan diri untuk mengungkapkannya dalam batin. 

Mungkin, bisa saja Stevie jatuh sakit sebagai lanjutan secara tidak langsung dari penyakit yang ia derita beberapa hari lalu, tepat saat hari terakhir untuk melihat hasil pemahaman sekaligus pembelajaran tiba. Setelahnya ia hanya satu hari mengikuti kegiatan pengembangan karakter seorang pemimpin. Aku dapat membaca garis wajahnya yang mengatakan bahwa Stevie merasa terbelenggu oleh tekanan psikis dari ulah para seniornya. Ia bercerita bahwa andai kata ada sedikit saja kesalahan, maka ia harus menggembleng fisiknya sampai puluhan bahkan ratusan kali satu hari. 

Spekulasiku berlanjut pada satu kemungkinan. Sepertinya ia masih trauma dengan hal tersebut dan karena ia juga memikirkannya, maka malam ini dirinya jatuh sakit sampai-sampai ia hanya sanggup berbaring tepat di atas kasur empuk. Ingin berdiri untuk melangkah, rasanya sangat sulit dan berat. Atau mungkin matanya merasa Bumi berputar amat sangat kencang. 

Pancawarna sang bunga malam kini tampak bergoyang-goyang ke atas dan ke bawah disebabkan oleh tiupan angin malam, seolah mereka setuju dengan spekulasi dalam pikiran dan batinku. Melihat sang bunga malam mengangguk-angguk, aku ikut mengangguk-anggukan kepala lalu aku kembali ke dalam rumah. 

Keesokan harinya, aku kembali mengajari murid-muridku tentang cara menyuarakan butiran kata-kata indah dari Negeri Panser tanpa kehadiran satu orang murid. Jawabannya, tentu saja Stevie. Rupanya, spekulasiku tentang Stevie dengan sang Bunga Pancawarna semalam terbukti benar adanya seusai ibunya kembali mengirimiku pesan singkat. Stevie memang secara tiba-tiba merasa trauma dengan suasana latihan dasar kepemimpinan dan hal itu menimbulkan rasa stress dalam dirinya.

"Stevie kemana herr? Kok enggak ada?" Hanum si gadis berkerudung kini mencoba membuka spekulasiku semalam. "Ya, tadi malam ibunya telepon. Stevie demam sekaligus muntah-muntah. Jadi, hari ini dia enggak bisa masuk." Tidak sepenuhnya aku membuka spekulasi dengan sang bunga malam. Akan tetapi, aku merasa ada yang berbeda dengan pelajaran Bahasa Jerman pada hari ini. Sebelum dan setelah mengajar, pandanganku tertuju pada bangku dan meja milik Stevie di barisan paling depan. 

Aku membayangkan dirinya hadir tepat di hadapanku ibarat seekor Burung Manyar dengan kicauan indah miliknya. Butiran kata-kata dalam Bahasa Jerman menjadi seperti butiran biji-bijian sebagai makanan utama Burung Manyar dan biji-bijian itu membuat kicuannya menjadi terasa sangat indah untuk di dengar. 

"Tenang saja herr, paling-paling besok dia juga udah masuk lagi terus langsung berkicau kayak si Burung Manyar. Suasana pasti bakalan rame banget kalo ada dia." Aku mencoba menghibur diri sambil menikmati hembusan angin dan rumput-rumput yang bergoyang.

Angin beserta rumput-rumput yang bergoyang akan menjadi saksi dari kisahku saat mengajarkan murid-murid mendalami makna kata-kata indah milik Bahasa Jerman, begitu juga dengan Pancawarana sang Bunga Malam yang menjadi saksi ketika diriku bertanya-tanya dalam batin tentang murid kesayanganku. 

Tertulis kata-kata indah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan.

Minggu, 10 Januari 2016
Pukul 08.25 WIB. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi