Filosofi sepenggal kesunyian di balik kaca lokomotif

Suatu senja di dalam ruang kelas .


Senja hadir tanpa ditemani oleh sang Matahari. Hanya mendung bersama rintikan hujan yang hadir bersama dengan lamunan seorang guru muda. Hari Kamis ini terasa amat sangat berbeda dengan Kamis yang sebelumnya karena aku tak pernah menemukan arti filosofi akan sepenggal kesunyian. Namun, kali ini aku menemukan arti filosofi akan sepenggal kesunyian tersebut. 

Ibarat kaca lokomotif, aku merasa pandangan mataku seperti melihat rel kehidupan namun rangkaian kereta kehidupan terasa seperti diriku sendiri yang berjalan mundur dari waktu ke waktu. Aku mencoba mengingat kembali akan apa yang telah terjadi sepanjang hidupku sebagai seorang Guru Bahasa Jerman. Ujung-ujungnya, aku kembali pada satu titik saat bertemu dengan Stevie, murid kesayanganku. Paras cantiknya membuat siapapun merasa hatinya luluh begitu juga dengan suara indahnya. Siapapun pasti sangat ingin mendengarnya berbicara, terlebih lagi dalam Bahasa Jerman saat bersamaku. 

Rasanya memang tak lengkap bila tak ada celetukan lucu dari Stevie. Setiap hari, ia selalu mencetuskan guyonan-guyonan lucu dan semua pasti akan terpingkal-pingkal termasuk diriku. Bahkan gelak tawaku melebihi suara Stevie sehingga teman-teman Stevie memintaku menghentikan gelak tawa. 

Kembali pada lamunanku tadi. Kini, aku tersadar dari lamunan dan secara langsung teringat bahwa Stevie tidak masuk hari ini. Oh, pantas saja suasana menjadi terasa sangat sunyi. Ya, hari ini ia tidak masuk sekolah karena harus pergi menjenguk neneknya yang sedang sakit nun jauh di Kota Yogyakarta sana. Bagiku, ini melengkapi semua. Anganku terbang jauh ke awan di langit seraya rasa rindu kepada Stevie semakin menawan. Di dalam anganku, aku membayangkan Stevie mencetuskan celotehan sekaligus guyonan tepat ketika diriku tengah membawa sebuah lokomotif di atas rel.
                                              
                                                 

Celotehan lucunya membuat diriku terbahak di atas kursi masinis dan jujur saja, itu hampir membuatku kehilangan fokus. Namun aku tetap berusaha fokus membantu sang ular besi berlari maraton di atas rel. Sesekali, aku mengarahkan pandangan pada kaca samping lokomotif agar mata dapat melihat pemandangan yang terhampar. Ahhh, ini menjadi perjalanan paling indah sepanjang hidupku bersama murid kesayanganku di sekolah. 

Tepat ketika sang surya menutup dirinya, serdadu awan kelabu datang mengepung Bumi. Sambaran petir telah terdengar di beberapa sudut penjuru, bahkan terkadang sang petir menunjukkan dirinya tanpa canggung sedikit pun. Lantas, aku pun menyuruh Stevie menutup kaca samping kiri lokomotif dan aku pun ikut menutup kaca samping kanan lokomotif bersamaan dengan kehadiran rintikan hujan. Hujan, hujan, dan hujan. Allahumma shoyyiban naafi'aan. Sambil menjalankan lokomotif, aku menikmati rintikan hujan di sepanjang rel dan menikmati arti dari filosofi sepenggal kesunyian di balik kaca lokomotif. 

Hingga akhirnya, Stevie harus turun di Stasiun Tugu yang menjadi stasiun favoritku sejak lama. Ia merasa ada yang lebih penting dan ia pun turun meninggalkanku seorang diri di balik kaca lokomotif. Sejatinya, aku akan hadir di Yogyakarta, kota penuh keramahan dan kehangatan orang banyak. Akan tetapi, aku masih harus "melarikan" sang lokomotif sampai ke Stasiun Solobalapan di kota kelahiran kepala negara favoritku dan nanti akan segera kembali ke Yogya.

Stevie, waktu dan tempat memang akan sanggup menggali jurang pemisah antara aku dan kamu. Tetapi, aku akan kembali menemuimu di lain waktu... Terima kasih untuk perjalanan indah bagi hati yang sunyi, anak cantik...

Tertulis, kata-kata indah seorang Guru Bahasa Jerman,

Jumat, 22 Januari 2016
Pukul 19.20 WIB.

Sumber gambar: longboardconsulting.com,  https://www.youtube.com/watch?v=gpYgef3atzQ 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi