Senandung Burung Manyar

Hari telah beranjak senja ketika surya bergeser ratusan derajat ke ufuk timur. Perlahan-lahan, keramaian Kota Yogyakarta menghilang jauh dari pandangan sambil seorang guru muda pergi mengayuh sepeda ontel ke sebelah utara, mendekati pedesaan di perbatasan dengan Sleman. Peluh menyiram kulitnya dan memaksa guru muda tersebut untuk berhenti sejenak. 

Tanpa terasa sudah dua hari belakangan ini aku berada di Kota Yogyakarta. Sengaja aku datang kesini untuk memberikan setangkup pemaparan tentang pengalamanku mengajar Bahasa Jerman selama beberapa bulan terakhir ini. Memang masih terlalu muda untuk membagikan pengalamanku sebagai seoranag guru. Akan tetapi sudahlah, jangan pernah menyia-nyiakan yang namanya kesempatan karena itu belum tentu datang lebih dari satu kali. 

Kembali pada kisah semula. Aku terduduk tepat di pinggir hamparan sawah-sawah yang tengah menguning bersama sang sepeda ontel pinjaman. Aku memarkirkan sepeda ontel tersebut tepat di pinggir kaki kananku. Alam rupanya tengah membuka diri untuk menjadi tempatku beristirahat melepas segenap kepenatan lengkap dengan panorama indah langit senja dan bersamaan dengan itu, anganku terbang jauh kepada sekelompok gadis remaja di sekolah. 

Siapa lagi kalau bukan Stevie. Namun, kali ini tidak hanya Stevie yang akan kuceritakan pada kalian. Melainkan ada tiga orang teman perempuannya ikut mendatangiku dan terus terang saja itu membuatku heran sambil bertanya-tanya dalam batin. Ada apa gerangan? Mengapa Stevie membawa gadis-gadis lain sebayanya datang kepadaku? Entahlah. Aku hanya bisa menyambut mereka tepat di hadapanku lalu empat gadis tersebut bertanya seperti serdadu burung-burung Manyar berkicau. Aku pun tidak tahu, mengapa belakangan ini suara murid perempuan selalu terdengar seperti kicauan serdadu burung-burung Manyar. 

"Herr, jadi kapan nih berangkat ke Yogya?" Stevie menceletuk paling pertama. "Insha Allah minggu depan bapak berangkat. Di Yogya cuma empat hari, terus setelah pulang bakalan datang ke sini lagi." Ujarku santai. Ketiga gadis di sebelah Stevie hanya terdiam sambil menghela nafas. "Perasaan kalo herr pergi beberapa hari doang rasanya tuh kayak udah beberapa bulan." Tak ingin tinggal diam, Fatimah pun menceletuk. "Alah, itu cuma perasaan kamu Fat." Ucapanku kini membuat Stevie tertawa. 

Bukan untuk pencitraan atau mencari popularitas, namun inilah kendaraan yang kupunya selama di Yogya. Sebuah sepeda ontel kuno khas zaman Belanda. Entah sudah berapa tahun umur sepeda yang kupakai, namun yang jelas sudah mendekati 50 tahun alias setengah abad. Sejak kemarin aku meminjamnya dari Bu Citro dan setiap kali mengayuhnya, aku selalu teringat akan senandung Stevie yang terdengar seperti kicauan Burung Manyar. Candanya, tawanya, celetukannya dan seluruh lawakannya menjadi kicauan merdu di telingaku. Dirinya pula dirindukan oleh banyak orang termasuk aku. 

Mataku kembali menatap sekeliling dan semuanya terasa sangat indah. Hamparan sawah kini tampak seperti permadani. Jalanan mulai agak sepi kini ikut mencoba membuat hatiku menjadi lebih sunyi dan tidak lama berselang, koloni burung Manyar melintas tepat di atas benakku. Hmmm, sepertinya mereka mengerti isi pikiranku saat ini. 

Aku sempat menerbitkan senyum tipis untuk sesaat, namun rasa rindu akan senandung indah murid perempuanku kembali membelenggu. Stevie selalu membuatku ingat pada dirinya, pada dirinya dan hanya pada dirinya. Diriku boleh merasakan rindu hanya untuk sesaat, sebelum aku kembali bertemu dan mendengar senandung indah murid kesayanganku. 

Sampai jumpa lagi, burung Manyar dengan senandung yang amat indah...

Minggu, 3 Januari 2016
Pukul 16.24 WIB

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi