Dua pucuk surat di antara rumput yang bergoyang

Aku melangkahkan kaki sejauh padang rumput terhampar 
Aku mengayuh biduk seluas laut terkembang
Aku memanjat setinggi gunung menjulang di atas muka bumi
Sejauh apa pun aku pergi, pada akhirnya aku akan kembali pada satu tujuan
Kembali pada rerumputan yang bergoyang 
   Ya, rumput yang bergoyang. Aku gemar menjumpainya karena disinilah aku merasakan makna dari kata "cinta" dan arti dari kiprah seorang "guru." Mungkin, awalnya terlihat biasa-biasa saja. Namun perlahan-lahan, semua terlihat makna indahnya.

Sore itu di Tanah Negeri Kincir Angin, aku tengah membawa sebuah mobil kuno yang diproduksi di era 1970-an-1980-an. Sebut saja mobil Volkswagen alias VW minibus. Aku mengemudikannya seorang diri tanpa ada satu pun kawan di sebelah atau di belakangku. Tetapi sudahlah, nikmati saja kesendirian ini karena pada saatnya akan hadir seorang kawan tepat di sebelahku.

Perlahan namun pasti, aku merasa lelah mengemudikan mobil. Aku pun mengambil keputusan untuk berhenti tepat di pinggir jalanan sepi dan segera mengarahkan pandangan mata kepada rerumputan yang bergoyang lengkap dengan barisan bunga tulip cantik nan mempesona. Sebelum menikmati kesunyian di depan kesendirian, aku tidak lupa mematikan mesin mobil agar kenikmatan suasana menjadi lebih terasa.

Aku pun terduduk tepat di depan hamparan rumput yang bergoyang dan sedikit barisan bunga. Nafas aku tarik perlahan-lahan, lalu dihembuskan kembali perlahan-lahan pula.

Sepertinya mereka tertiup angin, karena mereka mendarat tepat di atas pangkuanku namun aku tak sadar sebab aku tengah asyik merasakan tiupan angin. Dasi bermotif abu-abu yang membaur dengan kemeja kotak-kotak pun ikut melambai ke belakang pada sebuah truk trailer pengaduk semen dan truk pengangkut peti kemas yang tengah melintas, seolah aku kenal dengan sang pengemudi.

Tersadar akan dua pucuk surat di hadapanku, jemariku segera berusaha membuka amplop dari surat tersebut. Rupanya, surat itu berasal dari seorang guru perempuan seusiaku dan salah seorang murid perempuanku juga di sekolah. Aku pun bersemangat untuk membaca apa isi surat tersebut. Segera aku membuka amplop.

Surat dari sang guru perempuan dikirim dari Negeri Sakura, julukan bagi Tanah Jepang nun jauh di ufuk timur bumi. Ia sangat fasih berbahasa asing juga sangat mahir menciptakan goresan indah dari lukisan di atas kertas. Aku merasa sangat senang menerima cerita dari dirinya. Jujur saja, aku mencintai sang guru perempuan sejak remaja sebab saat itu, aku dipaksa untuk menjawab siapa orang yang kucinta. Awalnya aku menjawab tidak ada sambil teman-temanku memberi pilihan orang. Namun, akhrinya aku menyebutkan nama sang guru di balik tetesan embun milik Dataran Tinggi Dieng.

Ia bercerita bahwa kegiatannya di negeri sakura amat sangat menyenangkan dan takkan pernah terlupakan. Aku hanya bisa senyum-senyum sendiri membaca isi surat dari orang yang kucintai. Ingin kusebut namanya, tetapi malu rasanya. Ah, sudahlah...

Beres membaca surat pertama, kini saatnya untuk membaca surat kedua. Surat kedua terbungkus dalam amplop berwarna cokelat dan membaca nama pengirimnya saja aku sudah bersemangat seperti tadi. Segera kubuka surat kedua tanpa pikir panjang.

Dialah Stevie, murid perempuan kesayanganku di sekolah. Usianya 12 tahun alias sedang beranjak remaja, namun ia dapat berbicara dalam Bahasa Jerman dengan fasih. Dalam suratnya, ia bercerita tentang kegiatannya di sekolah saat aku tidak bersamanya bahkan ia pun mencurahkan seluruh rasa rindunya kepadaku. Aku sang Guru Bahasa Jerman hanya bisa tersenyum membaca surat itu dan berjanji dalam hati untuk segera membalasnya.

Rumput masih bergoyang, seolah mereka mengerti apa isi dua surat yang kubaca tadi. Aku menjadi sangat bersyukur dapat menikmati semua keindahan ini meski hanya seorang diri dan hatiku tampak berbunga-bunga.

Melihat parasmu, aku menemukan sekuntum kasih dan kehidupan
Usai aku mencarinya sangat lama, sejak remaja di masa lalu
Kamu datang tepat dihadapanku sambil menawarkan hati nan tenang
Kamu mencoba untuk memahami apa isi pikiran dan batinku


Suaramu, ibarat sebuah gubahan bahasa tentang sebuah negeri di atas awan 
Rumput yang bergoyang, turut menghiasi halaman ketenteraman dan ketenangan
Mendengar suaramu, aku seolah pergi ke sana sambil menikmati rumput yang bergoyang
Rupanya, hatimu memiliki amat banyak bahasa ketenangan selain kemahiran Bahasa Jerman
Kamu mencoba untuk memahami segala suasana dalam pikiran dan batinku. 


Andai kalian tahu, Stevie muridku dan juga engkau guru yang tengah berada di Negeri Sakura... Puisi singkat di atas aku gubah dari lagu "Negeri di awan" milik Katon Bagaskara. Lagu itu sangat cocok dengan suasana hati dan pikiranku saat ini, tepat ketika kalian hadir bersamaku meski pun kini kita sedang berpisah...


Tulisan indah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan,

Jumat, 1 Januari 2016
Pukul 05.32 WIB.
                                   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi