Ada untuk dipertanyakan

Sumber gambar: best-wallpaper.net

Bandara Heathrow, London, Inggris di akhir sebuah hari. 

Tatapan mata seorang guru muda terarah lagi pada arloji bertali cokelat tua di pergelangan tangan kanannya untuk yang kesekian kalinya. Ia bolak-balik melirik lingkaran jam bersama denting jarum yang merambat sangat pelan sejak ia tiba di pelataran Bandara Heathrow dalam cerita ini lantaran Bandara Schiphol dan seluruh permukaan Tanah Belanda tampak sudah jemu dituliskan sebagai latar dalam cerita ini. Masih lama. Dua kata dengan sembilan huruf tadi dirasa tepat melukiskan seluruh isi pikiran sang guru. Ia sudah menanti Gloria sejak tadi, namun gadis berambut pendek itu belum juga datang. Aku putuskan tuk membuka catatan kecil dari saku bajuku. 

"Gloria udah datang belum herr?" Sekonyong-konyong suara seorang gadis menghujam telinga kananku tanpa diminta. Rupanya si gadis bunga muncul di depan batang hidungku persis seperti setangkai bunga yang baru tumbuh dari tanah berselimut rumput ilalang. "Belum nih. Barusan sih dia bilang pesawat Malaysia Airlines MH 004 bakal datang jam 16.35. Tapi sekarang jam 17.05, belum ada tanda-tanda pesawatnya mendarat." Ujarku pada si gadis bunga diiringi rasa sesal di lubuk hati karena Gloria datang dengan menggunakan jasa salah satu maskapai penerbangan milik negara tetangga padahal nasionalismenya sangat tinggi. Bahkan sepertinya lebih tinggi dariku.

"Ya udah Herr Aldi, tunggu aja. Yang sabar ya, kayaknya pesawat Gloria kehalangan cuaca buruk atau ada faktor-faktor penunda lainnya." Hembusan nafas pelan tertarik saat si gadis bunga mencoba menenangkanku. Tetapi sejurus kemudian, bagai lupa menyambung kata-katanya ia kembali melanjutkan, "Oh iya herr, tadi Maureen sama Ariq baru ngirim Whatsapp ke aku. Isinya sih sama aja, tapi mereka berdua bilang cuaca langit Eropa hari ini enggak begitu friendly buat penerbangan. Kayaknya Gloria tertahan di satu negara, entah Timur Tengah atau Eropa Timur sana tapi dia lupa kasih tahu kita." Kubenarkan tutur-kata si gadis bunga tadi. Hari ini langit Benua Biru memasang raut tak bersahabat bagi penerbangan sehingga banyak terjadi delay berjamaah di sejumlah bandara Eropa serta banyak pesawat yang memilih menunda keberangkatan, kembali ke bandara asal atau bahkan membatalkan penerbangan sama sekali hingga waktu yang tak mengantongi kepastian. 

Sejumlah makhluk Kaukasoid tampak resah melihat situasi langit Eropa melalui layar kaca televisi bandara. Kini mereka mulai mengkhawatirkan perjalanan jauh mereka saat aku mengkhawatirkan kedatangan Gloria. Belum selesai sesal karena Gloria menunggangi maskapai negara tetangga, aku turut dirubungi sesal pula lantaran dewasa ini aku merasa sukar menghadirkan Stevie dalam cerita indahku. Padahal dia adalah murid kesayanganku di sekolah, seperti yang telah kutuliskan dalam pena di sini. Mengapa demikian? Ada apa gerangan? Apa yang terjadi? Tak ada sepatah katapun jawaban yang sanggup kuberi sekarang. 

Dalam sekejap tangan kurus si gadis bunga menangkap catatan kecilku yang terbang diterpa oleh angin bandara bersamaan dengan hilir-mudik pesawat berbadan besar yang datang dan pergi dari Bandara Heathrow secara silih berganti. Matanya pasti sudah menangkap apa isi catatan kecil itu dan tanpa timbulnya keinginan kuat untuk berpikir dalam-dalam ratusan kali, dengan di luar permintaan juga aku ceritakan makna catatan kecil itu pada si gadis bunga di antara keramaian setiap sudut bandara. 

                                                                   *****************

Cerita ini diawali di Hari Minggu Sore, 28 Agustus 2016. 

Hanya terpaut dua hari usai sepenggal waktu senja bersama Bu Yeye di Jonas Photo beserta restoran Pizza Hut Taman Pramuka, aku diajak ibuku berbicara sesaat sebelum menunaikan ibadah Shalat Maghrib. Pembicaraanku dengan ibu masih seputar rencana menduduki bangku perkuliahan tahun depan. Masih tertera jelas dalam kanvas memoriku, ibu yang bekerja sebagai seorang dosen di salah satu universitas swasta di Kota Bandung menyarankanku ikut tes masuk dua perguruan tinggi sesuai minatku sendiri, yakni Pendidikan Bahasa Jerman UPI dan Hubungan Internasional Unpar sebab bila hanya mengikuti tes masuk Pendidikan Bahasa Jerman UPI, aku tak pernah akan tahu apakah bisa lolos atau tidak dan tes masuk perguruan tinggi negeri baru akan diselenggarakan setelah pelaksanaan Ujian Nasional baik itu SNMPTN atau SBMPTN.

Tak berhenti sampai di situ, ibu melanjutkan ucapannya tentang tes masuk perguruan tinggi. Berbeda dengan perguruan tinggi negeri lainnya, Unpar sudah memulai proses pendaftaran sejak Bulan November-Desember dan ujian saringan masuk (USM) di Bulan Januari. "Nanti November daftar online ke HI Unpar ya." Tutup ibu sesaat sebelum aku menunaikan ibadah Shalat Maghrib.

Lepas Shalat Maghrib, anganku kembali melayang pada saat-saat ketika diriku terjerumus pada titik terendah tiga bulan silam setelah selesai melaksanakan ulangan kenaikan kelas dan try-out SBMPTN karena memikirkan masalah libur panjang di kampus yang sangat kontras dengan minat-keinginanku kala itu. Aku sangat ingin mendalami ilmu Bahasa Jerman di UPI sebelum nanti menjadi guru, tetapi aku harus bertatap muka risiko bin konsekuensi libur lebaran sangat lama dan libur akhir tahun hanya sebentar. Aku pun kembali terpikir untuk mendalami ilmu Hubungan Internasional di Unpar dengan ganjaran libur akhir tahun berlangsung lama sedangkan libur lebaran entah berapa lama. Bisa saja sama panjang, bisa saja lebih singkat.

Aku terus bertanya-tanya di tepi pintu ruang bathin berhari-hari, bahkan sampai setelah Hari Raya Idul Fitri sekalipun. Ilmu mana yang harus aku timba? Siapkah aku berhadapan langsung dengan risikonya?

Namun pertanyaan dalam ruang bathin itu tak selamanya berputar-putar. Pada penghujung Bulan Juli saatku menginjak saat-saat pertama di bangku kelas 12, aku diminta mengisi formulir tentang pilihan program studi di perguruan tinggi. Tujuan utamaku adalah Pendidikan Bahasa Jerman, Seni Rupa dan Seni Musik UPI. Jurusan Bahasa Jerman STBA tak lupa aku masukkan dalam jangkauanku serta Hubungan Internasional Unpar mendapat giliran terakhir aku jamah, sebagaimana minat yang sudah sejak lama aku tanam di bawah sumbu lentera jiwa persis dua tulisanku sebelumnya.

Alhamdulillah, arah yang dahulu aku pertanyakan seorang diri dalam bathin kini telah terjawab dengan gambaran berbentuk tiga biji pilihan besar yang akan menyandang status "penentu arah jalan hidupku nanti."

Lupakan dunia perguruan tinggi. Kini telah tiba saat di mana aku harus mempertanyakan semua yang ada tak jauh dariku. Allah SWT memang menebarkan semua tanda-tanda kebesaran-Nya serta tanda-tanda akan terbukanya beragam peluang besar. Bila aku membaca semua tanda-tanda di bawah tudung langit tersebut, sedikit demi sedikit memang sudah ada tanda-tanda bila seluruh impian besarku akan terkuak sambil mereka bermetamorfosis menjadi sebuah realita. Ingin jadi Guru Bahasa Jerman, Allah sudah menyediakan pelajaran Bahasa Jerman dan aku fasih bahasa itu hanya dalam kurun waktu dua tahun. Ingin jadi Presiden RI, ada peluang saatku membimbing adik-adik kelasku men-display kelas di minggu pertama masa belajar. Isu-isu politik baik manis atau pahit pun sudah bertebaran luas di depan batang hidungku sendiri. Mau minta apa lagi? Mau mencari apa lagi?

Tetapi di balik semua itu, ada kalanya aku merasa masa belajar di kelas 12 tak menyenangkan, atau tak seindah kelas 10 dan 11 dulu. Mungkin aku sudah pernah membahas ini, tetapi kini aku ingin mempertanyakan lagi semua yang pernah aku dapatkan dan rasakan.

Jadi guru ada bekal sekaligus peluangnya sendiri. Tapi apakah aku bisa menggapai itu? Entah. 

Dulu aku gemar menulis kisah bersama Stevie dalam angan sampai menelurkan jumlah banyak. Tapi sekarang Stevie jarang muncul di ceritaku. Adapun hanya sesekali. Kenapa? Aku tidak tahu. 

Pelajaran Kelas 12 sudah mulai susah? Iya, tapi enggak semuanya juga. Yang menurut aku pelajarannya susah itu ada Akuntansi & Matematika. Bahasanya berat-berat, persis mahasiswa. 

Tapi by the way di Kelas 12 ada momen yang menyenangkan juga kan? Oh, iya dong. Sudah pasti ada, terus enggak ada salahnya juga aku menikmati semua momen di kelas 12. 

Aldi, waktu Kelas 11 kamu kelihatan semangat banget mau jadi Guru Bahasa Jerman. Tapi begitu naik kelas 12, pikiran kamu mulai goyah sama cita-cita jadi pilot waktu kecil dulu. Jadinya mau kemana? Pastinya sih tetap jadi guru, soalnya buat jadi pilot harus dari jurusan IPA tapi guru bisa segala jurusan. 

Empat butir pertanyaan di atas tadi dalam sekejap berhenti berputar-putar di kepalaku. Kurasa sudah cukup bertanya-tanya tentang seluruh gambaran masa sukar pada diri sendiri juga orang lain. Kini kucoba untuk memberanikan diri bertanya tentang kenangan-kenangan manis yang bertebaran dalam jangka waktu sebulan pertama menjadi siswa Kelas 12 dan inilah pertanyaan berbuntut jawaban indah yang selalu aku tunggu dimanapun-kapanpun.

Kepada waktu aku berkilah tapi ini sesuai dengan kisah yang nyata, awal Bulan Agustus 2016 aku habiskan dengan kunjungan ke Pantai Anyer nun jauh di tepi Selat Sunda sana dalam rangka acara arisan keluarga besar ayah tercinta dan itu menjadi momen di saat sepenggal senja yang tak sampai hadir dalam hidupku sebelum Gloria menghampiri bayang-bayang anganku sekitar 10 hari kemudian. Terus terang, semula aku biasa-biasa saja menanggapi kehadiran Gloria melalui sebuah cara yang terbilang "pahit," tetapi dalam waktu singkat pahit itu memudar pertanda ia berubah manis.

Selanjutnya, mau minta apa lagi? Kehadiran Bu Yeye setelah dua bulan tak bersua pula turut mengambil bagian sebagai bonus akan kenangan manis yang sudah terkuak dari tirai pil pahit. Alhamdulillah, kenangan manis sebagai hadiah terindah dari Allah SWT terasa lebih manis daripada seteguk madu yang kini telah aku telan kendati jalan hidupku masih akan sangat panjang. Terima kasih Ya Allah...

Terakhir, sebelum aku menutup cerita ini, perlu kutepikan cerita Ali alias Abah yang mengaku dirinya berjumpa dengan si gadis bunga pada hari kemarin di Taman Lansia. Dari pengakuannya, ia menemui si gadis bunga tengah asyik berburu Pokemon di Taman Lansia dan darinya aku tahu bahwa si gadis bunga dianugerahi rambut pendek seleher yang menurut Abah tampak indah walau aku belum pernah melihat mahkota indah milik si gadis bunga secara langsung. Lalu haruskah aku melihat mahkota indahnya secara langsung melalui mata kepala sendiri? Aku tidak tahu dan itu sangat nihil bin mustahil kulakukan seorang diri. Aku memang penasaran, tetapi rasa malu-malu berbuntut deg-degan sudah keburu membelengguku kini.

                                                                   *****************

Barangkali ini merupakan cerita terpanjang yang pernah aku tulis dalam lipatan kertas kecil di balik saku jaket cokelat nan tebal ini. Kukatakan sekali lagi, lipatan kertas itu mengantongi ukuran kecil, memang. Tetapi kertas kecil tersebut pada kenyataannya dapat mengembang lebar tatkala jemari tanganku membukanya pelan-pelan. Kusadari ini adalah lembaran cerita terpenting dan tidak kalah penting dari cerita perjalanan hidupku. Semua yang ada bisa membuat orang mempertanyakan itu, semua yang ada akan dipertanyakan juga.

"Eh, kenapa melamun terus Herr Aldi?" Aku pikir suara si gadis bunga menyapaku, namun setelah aku menoleh ke sebelah kiri tubuhku, aku baru sadar Gloria baru saja mendarat di Bandara Heathrow sampai ia mengundang firasat setengah tidak percaya. Matanya memandangku dengan begitu indah seraya memantulkan bayangan wajahku lengkap dengan saat ia mengulum senyum manisnya kepadaku. Ia tampak tidak ragu membagikan senyumnya dan aku turut mengajak si gadis bunga agar menyambut Gloria. "He-ehm, Sorry Glor. Barusan aku kepikiran isi ceritaku yang dikasih tahu ke si gadis bunga tadi. But anyway, just welcome to London, Gloria." Dengan senyum terkekeh ia menepikan terima kasih kepadaku.

Di antara keramaian Bandara Heathrow, aku melangkahkan kaki dengan ditemani oleh Gloria dan si gadis bunga tanpa lupa sambil bercengkrama ria seputar beragam topik termasuk perjalanan Gloria dari Indonesia ke Inggris melalui Negeri Jiran Malaysia. "Wah, bener banget herr. Pokoknya perjalanan aku ke London hari ini penuh warna banget. Tadi pesawatnya berangkat jam 10 kurang, terus cuma dua jam sebelum landing di Heathrow si Pilot Airbus A380 kasih pengumuman soal cuaca unfriendly buat penerbangan di atas Eropa Barat & sebagian daerah Samudera Atlantik. Belum arus lalu-lintas Heathrow yang hari ini padat banget sampai pesawat harus berputar-putar di atas Inggris hampir setengah jam. Fiuhh... Alhamdulillah tadi bisa mendarat biarpun telat." Cerita Gloria.

"Tadi sebelum turun, aku sempetin masuk ruang kokpit buat foto bareng sama pilotnya. Nih, foto aku sama Kapten Razif Mohd Ibrahim + First Officer Krisna Arief Saputra, asli Orang Indonesia. Bangga banget deh." Gloria menutup obrolan seiring dengan terbenamnya raga kami dalam kerumunan orang-orang bule ini yang dilanjutkan dengan langkah menuju stasiun Subway/Kereta MRT bawah tanah. Bandara Heathrow aku tinggalkan bersama Gloria dan si gadis bunga menuju The London Islamic Cultural Centre and The London Central Mosque di 146 Park Road.

Tertulis, kisah indah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan.

Bandung, 29 Agustus 2016
Pukul 20.47 WIB
-Herr Aldi Van Yogya-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi