Hujan di waktu Subuh

 
Sumber gambar: fullhdpictures.com

Rintik hujan sudah jelas sangat sukar mengenali waktu yang tepat untuk ia turun bersama tetesnya demi setitik embun di tubuh daun-daun hijau kala waktu malam akan mengucap selamat tinggal dalam tempo satu jam. Kutatap hadirnya hujan di waktu Subuh tepat sesaat selepas shalat seorang diri sebagai pertanda aku tak lupa pada Rabb-ku sang pencipta hujan di langit Bumi hari ini. Kuakui sangat jarang memang, hujan datang saat Adzan Subuh berkumandang lantang membangunkan para Hamba Allah SWT agar segera menunaikan ibadah shalat. Tetapi tak apalah, aku anggap hujan ini adalah sebuah berkah. 

"Herr Aldi, kita mau kemana?" Spontan suara milik seorang gadis menghujamku di balik kaca mobil. Dialah Maureen, seorang gadis yang selalu mengenakan kupluk abu-abu yang menaungi rambut panjang di kepalanya. Bila ia tersenyum, pasti akan selalu tersenyum manis. Aku suka melihat itu walau hatiku lebih kuat berlabuh pada si gadis bunga. "Hmmm, sekarang kita kan mau jemput Abang di Bandara Husein. So, kita langsung aja berangkat ke sana." Maureen tak banyak berucap lagi begitu aku memaparkan tempat tujuan yang akan kutempuh perjalanannya seraya menembus kegelapan waktu Subuh. 

Hujan mengguyur jalanan dengan sangat deras sampai-sampai aku harus menyalakan AC mobil demi memperjelas pandangan mata. Wiper si penyingkir air nan tangguh terus melambai-lambai di kaca mobil minibus kesayanganku ini walau aku tak melihat apa-apa di depan selain satu-dua mobil atau sejumlah petugas kebersihan dan tukang parkir yang mulai bertugas sejak Subuh. Dampaknya dari AC, Maureen kini menggigil kedinginan tepat di sebelahku seiring dengan terdiamnya Ariq, Ragil dan Akbar di jok baris kedua dan terlelapnya si gadis bunga di jok baris ketiga seakan tak peduli dengan hembusan AC. 

Kusempatkan diri melirik jam tangan di pergelangan kanan. Masih pukul 04.15 WIB ternyata. Adzan Subuh belum berkumandang saat ini tentunya. Kendati demikian, mobil minibus berkursi empat baris ini aku pacu secara hati-hati sampai melewati pintu gerbang masuk Bandara Husein Sastranegara. Di depanku kini terdapat banyak mobil dan oleh karena itu aku harus melambatkan laju mobil hingga aku menurunkan lima orang penumpang istimewaku di pelataran bandara sebelum aku mencari tempat parkir yang kosong. Kini mereka menungguku, kawan-kawan...

                                                                        ************
"Lho, Maureen kemana?" Tanyaku begitu tiba di ujung teras bandara. "Itu, lagi ke toilet dulu di. Ternyata dari tadi dia udah nahan-nahan sampe hampir enggak kuat. Ya udah aku suruh dia cepat-cepat kesana." Ujar Ariq panjang lebar sambil menunjuk ke arah kamar mandi umum. Mendengar ucapan Ariq tadi, aku berasumsi bila Maureen merasa menggigil kedinginan lantaran ia juga ingin ke kamar mandi, selain kedinginan lantaran hembusan AC mobil tadi. Aku melirik jam dinding tak jauh dariku, ternyata sudah hampir 15 menit aku di bandara. Aku seperti ditakdirkan mendengar Adzan Subuh berbarengan dengan saatku melihat jadwal penerbangan. Abang baru akan mendarat 20 menit lagi. 

Usai meminta izin pada kawan-kawanku yang lain, aku melangkahkan kaki menuju Musholla sebelum aku didaulat menjadi imam shalat oleh salah seorang kapten pilot pesawat yang datang bersama first officer juga pramugara-pramugarinya. Bacaan shalat kualunkan ke seluruh penjuru Musholla dari awal sampai akhir shalat. Ketika kutanya alasan mengapa kawan-kawanku tak ikut shalat di awal waktu, mereka beralasan hanya ingin menanti Maureen lantaran khawatir gadis berambut panjang ini tak menemukan kami juga jika Abang datang lebih awal dari prediksi jadwal. 

Tak lupa aku suruh mereka menunaikan Shalat Subuh seiring dengan munculnya Maureen dari kerumunan manusia-manusia subuh. Tubuhnya masih menggigil kedinginan sebab tentu saja hujan masih enggan beranjak pergi lalu kupersilahkan dirinya duduk tepat disampingku. "Mau minuman hangat enggak?" Tawarku padanya. "Mau, aku bisa beli sendiri Herr. Herr Aldi mau juga enggak?" Sekarang ia me-nawar balik-kan minuman padaku yang menginginkan segelas kopi panas. Sejurus kemudian, Maureen pergi meninggalkanku seorang diri di kursi teras bandara. 

"Vielen dank, Maureen." (Terima kasih banyak, Maureen) ucapku saat segelas kopi panas mendarat di telapak tangan kanan. Kehangatan terasa di permukaan lidah begitu diseruput. Kulihat Maureen tengah menjepit jemari tangan kiri di antara kedua pahanya sedang tangan kananya mendorong kopi di gelas agar menyiram lidahnya. Kopi panasku sudah kutawarkan pada kawan-kawanku yang justru menolak tanpa ada rasa cemburu sedikit pun. Si gadis bunga saja tampak tak cemburu menatapku menyeruput kopi bersama Maureen. 

Alhamdulillah, Abang mendarat di Bandung tepat waktu. Pemuda berkaca mata ini memunculkan dirinya di mulut pintu kedatangan seraya mendorong koper bermuatan gitar bass serta dua koper ukuran sedang di troli. Tentulah Ariq yang paling pertama menyambut Abang disusul oleh aku, Maureen, Ragil, Akbar dan paling terakhir si gadis bunga. Kami menyempatkan diri berbincang-bincang sebentar sebelum melanjutkan perjalanan jauh ke daerah Lembang, ditambah rencana ke Ciater. Tetapi aku belum tahu apakah akan benar-benar ke Ciater atau tidak. 

                                                                        ************ 
Awan kelabu pagi ini menggantung pekat di langit Lembang menghalangi kehadiran sinar Matahari. Aspal jalanan terlihat berwarna hitam disebabkan oleh sisa hujan tadi subuh. Kubuka jendela mobil, angin menembus masuk bersama rintik hujan gerimis. "Gerimis lagi, di?" Sahut si gadis bunga kepadaku. "Iya nih, gerimis. Ya udah, sok mau gimana?" Tanyaku pada seisi mobil tepat ketika melintasi tanjakan. Hanya dalam hitungan menit usai aku melemparkan pertanyaan, kami berdiskusi riuh seraya diselingi canda-tawa. Berkali-kali Abang bicara dengan niat bercanda mengundang tawa kami sampai pada titik akhir, kami bertujuh mengambil keputusan serentak untuk singgah di Restoran Tahu Tauhid dilanjutkan dengan kunjungan ke Ciater.

"Buset, makan tahu segini aja udah kenyang. Apalagi ditambah nasi." Ragil kini merasa perutnya sudah terisi penuh sama dengan aku yang hanya tertawa-tawa sendiri tanpa tahu sesungguhnya menertawakan siapa. Aku terus tertawa sampai Akbar menyuruhku bungkam tetapi tawaku malah dilanjutkan oleh si gadis bunga. Puas meredam senandung keroncong dalam usus-lambung, perjalanan segera dilanjutkan ke Ciater dengan melintasi jalan berkelok sekaligus menanjaki perbukitan. AC mobil aku padamkan demi masuknya udara segar lewat jendela yang membuat kawan-kawanku keenakan sendiri.

Rambut panjang Maureen berkibar-kibar kencang walau kupluk abu-abu masih tetap bertengger di kepalanya. Ia terlihat menikmati hembusan angin pagi seusai hujan di waktu subuh datang membuka hari dan mendung tetap memegang status sebagai penutup tudung langit sampai kami tiba di Ciater. Saat berendam, aku melihat Maureen bermain air dengan ceria bagai mengingat masa kecilnya dahulu sedang aku tengah asyik berendam sambil menikmati jepretan kamera Go Pro milik Ragil. Alhamdulillah, hujan di waktu Subuh telah menghadirkan berkah sekaligus kenikmatan terindah bagiku.

Kata maaf aku haturkan pada Stevie, karena di sini aku tak menghadirkan dirinya, tetapi di lain cerita semoga aku dapat menghadirkan gadis cantik ini. Ya Allah, inikah citra terindah yang Engkau anugerahkan padaku? Pasti iya, tetapi hendak kutanyakan pada rintik hujan di waktu Subuh yang sekarang sudah lenyap ditelan mendung... ###

Tertulis, kisah indah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan.

Bandung, 13 Agustus 2016
Pukul 07.20 WIB.
-Herr Aldi Van Yogya-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi