Terjerumus a.k.a Galau

 
Sumber gambar: wallpaperscraft.com 

Berapa hari belakangan ini memang selalu terlewati bersama mendung kelabu yang menggantung sangat pekat di langit, ribuan meter nun jauh di atas sana. Matahari bagai tak sudi membagikan cahayanya pada Bumi dan ia seperti menelurkan titah pada pasukan hujan di pagi hari agar paduka tuan Bagaskara si raja penguasa langit siang sanggup bersemayam di balik awan. Bersamaan dengan mentari yang bersembunyi, aku terus memacu mobil seorang diri di sebuah jalan raya nan sunyi milik Negeri Kincir Angin, mantan penjajah negaraku hampir satu abad silam yang sekarang tanahnya aku gilas habis dengan mobil sebagai pertanda sudah saatnya aku berjaya di atas negara penjajah sendiri. 

Kaca jendela kubiarkan menganga lebar-lebar demi masuknya angin ke mobil VW kuno yang aku kemudikan dari Maastricht ke Amsterdam. Dulu, aku menggilas tanah Belanda dari Maastricht bersama enam teman dekatku sepanjang masa sekolah seraya mengenang sepenggal kenangan di masa remaja dulu. Saat itu tampak masih lebih indah kendati sedikit canda-tawa. Kini aku hanya sendiri. Sendiri, sendiri dan sendiri untuk yang kesekian kalinya dalam serangkaian perjalanan. Kutatap situasi di belakang mobil melalui kaca spion. Sunyi, hening tanpa ada kendaraan satu pun sampai membuatku merasa sedikit takut bila terjadi sesuatu. Namun lelah dan kantuk ternyata dapat menumpas takut dalam sekejap layaknya pejuang tanah air yang dahulu berhasil menumpas para Kumpeni Belanda. 

Demi bermuara di pinggir sebuah telaga, mobil aku tepikan di pinggir jalan tanpa tahu kilometer berapa. Garis wajah aku basuh dengan air telaga dan Alhamdulillah, kantukku bisa menghilang sebelum aku terduduk di pinggir telaga. Sungguh hari ini merupakan sebuah hari kesendirian sekaligus kesunyian bagiku sedang suara Burung-burung Branjangan, Manyar dan Gelatik hanya berstatus sebagai hiburan sekejap lantaran saat mengajar dulu, suara burung-burung itu adalah hiburan bagiku bila lelah ditambah oleh kicauan Stevie si Manyar cantik berparas putih bersih. Tetapi, sekarang aku merasa sedih saat mendengar burung-burung tadi berkicau ria. 

Masih dalam naungan mendung, kucoba mengingat kembali seluruh rangkaian perjalanan masa remajaku yang menyimpan banyak cerita baik manis atau pahit sebagai kenangan terindah pula dengan kesukaran tingkat tinggi agar bisa dilupakan. Ada masanya aku galau sebab aku merasa sukar kala bergelut dengan angka-angka sampai aku menangis sedih, diguncangnya pemerintahan kepala negara kebangganku sampai yang terakhir karena guyonan tentang perpindahan si gadis bunga pada lelaki lain juga bayang-bayang kekhawatiran terhadap pelaksanaan beragam ujian di semester dua. Lelah memikirkan itu memang. Tetapi ada baiknya juga aku mensyukuri seluruh citra-citra terindah masa remaja mulai dari hari-hari di kelas 10, pelantikan Presiden Joko Widodo yang berlanjut dengan fieldtrip ke Gunung Padang & Stasiun Lampegan dua hari berselang, masa-masa penghujung 2014, mengembara ke Dieng sampai hadirnya masa reses satu bulan. 

Aku kembali tergelayuti risau kala mengingat lagi masa-masa sukar dulu. Awal sampai pertengahan Maret 2016 adalah waktu yang tentu tak bersahabat buatku lantaran aku harus ikut shooting film yang merupakan bagian dari tugas Bahasa Indonesia. Lokasinya mengambil Rumah Ali, tak amat jauh dari rumahku. Pagi-pagi aku sudah sampai lebih dulu sebelum yang lain tiba. Masih tergambar jelas saat si gadis bunga datang 15 menit berselang setelah aku sampai semuanya lengkap walau shooting film harus terlambat ditambah dengan sejumlah kesalahan yang tak sengaja aku lakukan. 

Tidak sampai di sana, pada Minggu berikutnya UTS masih harus dilewati selama hampir dua minggu. Jujur kukatakan, mempelajari materi UTS memang melelahkan hinggaku merasakan kejenuhan tingkat tinggi sambil aku melewati semuanya termasuk shooting sesi dua seminggu berselang. Bila ditanya bagaimana suasananya, aku akan bilang seru dan lebih seru dari yang sebelumnya. Alhamdulillah, hanya dalam hitungan hari masa sukarku berlalu ditelan angin bahagia. 

Kira-kira hampir setengah tahun kemudian, aku justru kembali terjerumus pada kegalauan masa sukar dalam bentuk yang berbeda. Seperti tulisanku sebelumnya, mata pelajaran Ekonomi kelas 12 akan didominasi oleh materi akuntansi. Ya, kuakui itu memang benar sahabat-sahabat. Aku melewati empat kali pertemuan dengan pelajaran Ekonomi dalam situasi berat juga bimbang. Berat disebabkan materi pelajarannya yang memang berat (sebenarnya justru lebih cocok bagi mahasiswa) serta bimbang disebabkan hadirnya dua pilihan. Masih mau menikmati keseruan masa SMA atau cepat-cepat berkuliah di perguruan tinggi sana? Ada alasan apa sebab setiap orang akan kangen masa kuliah. Pasti. 

Galau, bimbang yang mendorongku sampai terjerumus itu terbawa sampai ke rumah terlebih kala akhir pekan datang. Seharusnya aku merasa tenang dan senang menikmati akhir pekan, sahabat-sahabat. Mendung kelabu belum beranjak pergi bagai tak sudi membuka jalan bagi tuan Matahari memberi sinar untuk Bumi. Aku biarkan diri berjalan menentang arus lelambaian angin laksana pejuang berjalan menentang arus kumpeni penjajahan. Di sini aku merasa energi merasuki jiwaku yang kini terasa lebih bersemangat dari sebelumnya. Ucapan selamat tinggal aku tepikan pada rumput-rumput bergoyang di Belanda bersama kecipak-kecipak bunyi air telaga tempat kubermuara tadi. Semoga galauku segera hilang dan aku tak terjerumus disana, kawan-kawan...

Tertulis, kisah cerita seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan.

Bandung, 14 Agustus 2016
Pukul 08.44 WIB
-Herr Aldi Van Yogya-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi