Jumat bersama Mutti (Sepenggal senja di penghujung Bulan Agustus)

 

Kulirik arloji bertali cokelat tua itu untuk yang kesekian kalinya. Denting jarum jam tampak merambat begitu pelan di kesunyian senja milik segaris jalanan di atas daratan Inggris yang terbentang dari Birmingham sampai London. Kulempar pandangan menembus kaca mobil Kia Pregio cokelat metalik ini. Sunyi, sekali lagi kukatakan. Di sudut kanan-kiri mobil aku hanya bisa melihat pemandangan berupa hamparan rumput-rumput bergoyang yang sesekali dipecah oleh riak air sungai kecil seiring dengan hembusan angin senja. Aku pacu mobil favoritku ini sekencang mungkin sebelum seseorang memecah kesunyian secara tiba-tiba dari jok belakang. 

"Di-di-di, bisa tolong minggir sebentar enggak?" Sergah Ariq sambil menghujam telinga kiriku. "Bisa. Emang kenapa?" Jawabku sambil bertanya balik. "Ini, barusan aku lupa nge-jamak shalat terus jadinya aku belum Shalat Ashar. Sok berhenti dulu mumpung waktu Ashar belum habis." Ajaib, dalam sekejap jawaban berbalut perintah darinya memaksaku menepikan mobil untuk sejenak di sisi kiri jalan dan mulanya hanya Ariq yang akan turun. Tetapi pada realitanya seluruh penunggang mobil mengambil keputusan untuk turun termasuk diriku. "Hitung-hitung istirahat sambil ngadem dulu Herr Aldi. Lumayanlah biar kakinya enggak pegal." Akbar menyeloroh mengenai sesuatu begitu aku turun melewati kaca depan mobil sebelum aku merebahkan diri di atas rumput. 

Inggris secara notabene merupakan sebuah negara dengan minoritas Penduduk Muslim sehingga ibadah shalat menyandang status "tantangan" bagi para Umat Muslim. Masjid atau mushola sebidang pun sukar dicari di tanah tempat Ratu Elizabeth bertakhta ini. Kuakui itu memang sangat benar. Tetapi bagaimanapun juga, siapa pun yang merasa dirinya memeluk erat Agama Islam tetap harus berupaya mengenali Sang Pencipta dimanapun tempatnya, kapapunpun waktunya dan bagaimanapun caranya pula. Kuarahkan pandangan pada Ariq yang tengah shalat di atas rumput dalam hitungan tujuh detik. Usai waktu tujuh detik tadi lewat, rupanya aku baru sadar jika Ariq tidak shalat seorang diri lantaran seorang pemuda berkacamata ikut shalat dengannya di samping. Oh, itu Abang. Ternyata ia juga belum menunaikan ibadah Shalat Ashar. 

"Herr Aldi, Bu Yeye kapan datang ke Bandung? Kok enggak ngasih tahu? Kok enggak lihat juga ya?" Dalam sekejap suara seorang gadis membekap pikiranku. Bukan si gadis bunga, bukan juga Stevie memang. Namun gadis pemanggil namaku tadi tak lain dan tak bukan adalah Maureen si penggemar kupluk abu-abu. Kemanapun ia pergi baik bersamaku atau tidak, selingkar kupluk abu-abu pasti akan selalu bertengger di atas kepalanya demi melindungi sebagian rambut panjangnya. "Pertengahan Agustus 2016, Maureen pas udah sebulan belajar di Kelas 12. Setelah dua bulan dapat surat perpisahan itu." "Ooo... Aku ingat tempo hari Herr Aldi pernah cerita waktu di Belanda. Ya kurang lebih pas lagi berhenti kayak ginilah." Tutur Maureen sambil menepuk-nepuk paha kanan-kirinya. 

"Tooot..." Kepalaku terlonjak oleh sebuah suara berisik yang berasal dari belakangku. Kualihkan tatapan ke jalan, oh ternyata hanya truk trailer penarik peti kemas yang berjalan dibuntuti sebuah truk pengaduk semen. Suara klakson mereka berdentum-dentum memecah kesunyian seolah mengerti hal apa yang kubicarakan sekarang. Ajaib, kecepatan dua truk tadi langsung menyingkapkan berlembar-lembar halaman buku agenda hitam kesayanganku sampai sepasang mata Maureen menjamah seluruh isinya. Lembaran-lembaran pertama ia libas dengan cepat tanpa sempat dibaca sampai titik terakhir sebelum ia berhenti pada halaman ke sekian. Ia berceloteh ria bagai seorang gadis kecil yang menemukan layanan agar bisa ditunjukkan pada ayah-ibunya. 

Aku tahu, Maureen menemukan sepenggal cerita saatku menjalani sebuah hari yang lebih cocok dibilang sepenggal senja di penghujung Bulan Agustus bersama Bu Yeye, guru kelasku saat kelas 10 dulu. Merasa enggan berpikir ratusan kali, aku langsung menarik keputusan tuk bercerita tentang sepenggal senja kepada kawan-kawanku kendati Akbar dan si gadis bunga turut mengalaminya bersamaku. "Ah enggak apa-apa di, sok ceritain aja." Ujar si gadis bunga. Kuceritakan hari itu pada mereka sekarang.

                                                                     *************** 

Cerita ini bermula di Hari Rabu, 24 Agustus 2016 pada waktu siang hari. Di tengah siang itu aku tengah mendalami pelajaran Bahasa Indonesia bersama Pak Iqbal, seorang guru baru pengganti Bu Tetty yang kala ini tengah cuti pasca-melahirkan anak pertama tiga minggu silam. Masih tergambar jelas dalam ingatanku, hari Rabu itu aku masih menyelami lautan teks cerita sejarah dalam satu kelompok kerja bersama si gadis bunga (tentunya) dan Rani. Aku sangat senang diberi kesempatan belajar satu kelompok dengan si gadis bunga. Kemudian saat pelajaran sudah lebih dari setengah berjalan, si gadis bunga masuk kelas dengan raut entah gembira atau terkejut. Namun yang jelas, ia menuturkan bila Bu Yeye tengah sowan ke sekolah. "Ada Bu Yeye, barusan aku ketemu di office..." Pekiknya sambil berbisik-bisik seolah tak ingin didengar kawan-kawan sekelas. 

Benar saja, sejurus kemudian Bu Yeye berjalan melintasi ruang kelas sampai mengundang kegaduhan kawan-kawan. Sebagian dari kami meminta izin pada Pak Iqbal sebelum keluar dan hanya dalam hitungan detik, Bu Yeye telah dikerubungi oleh para gadis-gadis kelas. Di situ ada gula, di situ pula ada semut. Bunga mekar dari tanah serdadu lebah menyerbunya. Demikianlah situasi yang dapat digambarkan olehku sampai tiba jam pelajaran Matematika. Saking inginnya bernostalgia, Bu Yeye sampai dibawa masuk kelas walau tak ikut menemani kami sampai jam pelajaran berakhir saat pulang sekolah pukul 15.00 WIB. Kulihat lagi, Bu Yeye tengah sibuk berbincang dengan guru-guru lain tak jauh dari kelas. 

Kisah berlanjut pada Hari Kamis, 25 Agustus 2016. Usai jam pelajaran Matematika selesai, seluruh siswa kelas 12 IPS masih nge-rumpi di kelas membicarakan agenda sepenggal senja bersama Mutti. Dari pembicaraan di kelas, aku mengendus rencana foto bersama di studio Jonas Jalan Banda yang dilanjutkan dengan makan bersama. Rencana berfoto bersama sudah pasti, kini kami memperdebatkan tempat makan dengan seru walau ujung-ujungnya kami disuruh mencari tahu sendiri tempat makan yang enak dan terjangkau oleh kantong kami. Malam harinya di tengah kegiatan belajar demi mengikuti Quiz Geografi keesokan harinya, kusempatkan diri mencari tahu tempat makan di sekitar Jonas Photo. Kulihat daftar nama tempat makan di sekitar Jonas Photo, tempat dan harganya sangat beragam mulai dari Rp. 30.000,00, Rp. 50.000,00 sampai Rp. 100.000,00.

Hari itu akhirnya tiba juga. Jumat sore tanggal 26 Agustus 2016, aku bersiap-siap berangkat menuju Jonas Photo kendati harus menanti Akbar di sekolah lantaran pemuda berkaca mata ini harus mengantar Febi menaruh sesuatu di rumahnya terlebih dahulu. "Aldi enggak bareng?" Tanya Cici alias Rifka ketika sampai di depan gerbang sekolah. "Enggak, ini lagi nunggu Akbar dulu. Barusan dia lagi ke rumah Febi." Aku menjawab sambil terus melihat ke ujung Jalan Padang Golf. Aku menanti selama sekitar 15 menit sambil berjalan dengan pasti. Di tengah jalan inilah aku bertemu dengan mereka sebelum meneruskan perjalanan ke Indomaret Perluasan lantaran harus menanti Adhit terlebih dahulu di sana. 

Lewat pukul 16.00 WIB, Adhit sampai di Indomaret dengan mengendarai motor. Ia berhenti sesaat sambil berbincang dengan Kak Ardi, salah satu kakak kelas yang baru lulus SMA belum lama ini. Usai semua siap, kami bertiga berangkat ke Jonas Photo dengan menembus kemacetan di Jalan Terusan Jakarta yang menjadi titik tempat pembangunan Jalan Layang Antapani. Kukatakan Hari Jumat Sore situasi lalu-lintas sangat macet karena Hari Sabtu dan Minggu adalah hari libur. Tak lupa sepanjang perjalanan, kami terus berkomunikasi dengan kawan-kawan lain melalui aplikasi "LINE" terkait dimana posisi masing-masing sekarang. Bagiku, perjalanan ke Jonas Photo sore hari itu membutuhkan waktu yang sangat lama karena Akbar salah membaca petunjuk GPS di telepon seluler. Seharusnya kami berbelok kanan dari perempatan Jalan Riau, tetapi kami malah belok kiri sampai harus memutar di Lapangan Saparua. 

"Yang lain mana?" Sergahku begitu menjumpai Sulthan yang tengah nongkrong bersama Adhit di halaman Jonas Photo. "Lagi pada shalat." Sejurus kemudian aku menjerembapkan diri pada kepungan foto-foto dalam pigura di dalam gedung sambil melangkah dengan pasti ke lantai atas. Kulihat para gadis tengah bersolek di sana bersama Faiz terkecuali si gadis bunga. Ketika kutanya sudah shalat apa belum, dengan tenang si gadis bunga mengatakan dirinya sedang tidak shalat. Sempatku disuruh Shalat Ashar bareng Faiz, tetapi kututurkan aku sudah Shalat Ashar di sekolah sehingga Akbar-lah yang didaulat mengimami Faiz. 

Di lantai bawah kujumpai Tante Wina, Ibunda tercinta dari Faiz yang sebelumnya sudah sempat mengobrol denganku juga Bu Yeye beserta putri semata wayangnya dan dalam sekejap, posisi kami sudah berpindah ke lantai bawah sebelum naik lagi ke lantai atas untuk dipotret pukul 17.30 WIB di studio 19 sambil memasang gaya-gaya narsis, tentunya. Ah... Sepenggal senja yang indah memang...


                                                                     ***************

"Ke Pizza Hut Jalan Sumatera." Ujar beberapa orang kawan sekelasku ketika selesai berfoto ria. Kembali kutumpangi Mobil Honda Jazz putih milik Akbar menembus kemacetan jalanan kota kembang sore itu dan sambil melirik arloji di pergelangan tangan kanan, kami sudah menghabiskan waktu selama setengah jam untuk sampai ke Pizza Hut. "Sekarang mah asa males keliling-keliling Bandung. Macet gini." Celetuk Febi. "Iya, kemarin aja aku jemput Umi ke Dago udah habis dua jam di jalan. Padahal biasanya sejam kurang juga nyampe." Akbar kini menyambungkan ucapan Febi tadi. "Sama bar, sekarang aja mama udah ngalokasiin waktu dua jam buat ngantor ke Unpar gara-gara jam setengah enam Jalan Terusan Jakarta udah macet." 

Sebagai imbas aku ikut nimbrung dengan Febi dan Akbar, pada ujung-ujungnya kami menyinggung proyek Jalan layang Antapani lengkap dengan tanggungnya jarak jalan layang di Kota Bandung. Pasupati saja mengantongi titik awal dari Gasibu yang kerap menjadi pusat kemacetan dan titik akhir di Jalan Pasteur dengan jadwal kemacetan pula. Padahal, menurutku jalan layang itu semestinya dibangun dari ujung Gerbang Tol Pasteur dan berakhir di bundaran Cibiru lantaran setelah turun jalan layang, beberapa persimpangan di Jalan Suci akan mengundang kemacetan panjang nan parah setiap hari. "Ah, panjang banget di. Ngebangunnya aja bisa lama." Sergah Akbar sebelum mencapai ujung pembicaraan. 

"Tante Wina, nitip kamera dulu ya. Saya mau shalat." Demikian titahku pada Tante Wina saat sudah duduk di tempatnya tak jauh dari pintu masuk sebelum aku menunaikan Ibadah Shalat Maghrib dijamak dengan Isya sejurus kemudian. Terus terang aku menunaikan ibadah shalat seorang diri (munfarid) lalu aku kembali pada kerumunan anak-anak muda tadi. Usai duduk, Ali alias Abah memintaku menyebutkan pesanan pada sang pelayan berambut pendek dan kusebutkan Beef Cheese Fussili yang dibuntuti oleh minuman Avocado Float. Lalu kami larut dalam obrolan Hari Jumat malam tentang berbagai topik, termasuk perihal kujatuh cinta pada si gadis bunga. 

Jujur, secara sengaja aku bernyanyi lagu "Panah Asmara" karya Chrisye sambil menatap si gadis bunga diam-diam. Bu Yeye menyuruhku memendam rasa itu dalam-dalam karena akan membuat si gadis bunga merasa malu. Masih senyum-senyum sendiri aku bernyanyi lagu "Kukatakan dengan indah" karya Noah saat masih menjadi Peterpan dulu hingga perasaanku disinggung Bu Yeye pada Tante Wina kendati aku tetap mencintai si gadis bunga apapun yang terjadi. Beres makan, tak lupa aku berpamitan pada Bu Yeye dan kawan-kawan termasuk si gadis bunga. 

Sekali lagi kukatakan, sepenggal senja di Hari Jumat itu adalah sebuah peristiwa langka yang tak ternilai kesannya. Tetapi itu justru tak meninggalkan kesan mendalam untukku. Tiada kata lagi yang harus kutepikan pada kalian, berarti cerita ini sudah cukup sampai di sini, kawan-kawan... 


                                                                    *************** 

Aku terdiam sejenak usai cerita berakhir. "Herr Aldi, kenapa di awal cerita bahasanya selalu puitis tapi di tengah-tengah malah jadi standar terus di akhir balik jadi agak puitis lagi?" Pertanyaan Abang tadi terasa menghujam diriku telak. Ariq mengangguk-angguk pertanda setuju dengan pertanyaan Abang diikuti oleh si gadis bunga, Maureen, Akbar dan Ragil. "Ya genks, saya emang suka gini dari dulu. Bahasa di awal tulisan puitis, tapi semakin ke tengah malah enggak begitu puitis. Di akhir baru agak puitis lagi padahal saya seneng banget menulis." Aku menepikan pengakuan lubuk hatiku pada mereka. Tak banyak yang dapat mereka tepikan padaku selain motivasi agar selalu semangat menulis yang aku terima dengan sepenuh hati. 

Beberapa saat kemudian, Maureen mengangkat buku agenda hitam dari permukaan paha kirinya agar bisa diserahkan padaku. Kuterima dengan senang hati sebelum mendapat sebuah berita tentang kedatangan dua orang temanku di Bandara Heathrow dengan menumpang pesawat Malaysia Airlines jalur Jakarta-Kuala Lumpur-London. Bukan tanpa alasan mereka memilih maskapai Negeri Jiran tersebut. Sengaja ia memilih Malaysia Airlines karena maskapai tanah air kursinya kini sudah penuh sehingga mereka tak bisa memaksakan berangkat dengannya. "Ayo, caw ke Heathrow sekarang. Bentar lagi mereka pasti landing." Aku mengajak Maureen diikuti lima kawanku sambil mengucap selamat tinggal pada hamparan rumput-rumput bergoyang tuk selanjutnya digantikan dengan hilir-mudik pesawat besar di Bandara Heathrow. 

Terima kasih untuk kisah yang indah, Bu Yeye dan juga kawan-kawan...

Tertulis, kisah indah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan.

Bandung, 27 Agustus 2016
Pukul 07.49 WIB
-Herr Aldi Van Yogya- 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi