Agar selalu melihat kekurangan

 
Sumber gambar: wall.alphacoders.com

"Kelebihan dapat kamu pandang dengan jelas sebelum kamu kecewa karena kekurangannya. Tetapi, kamu takkan kecewa bila kamu melihat kekurangannya terlebih dahulu." 

Penggalan kalimat di atas terasa seperti menghujam ruang batinku di sore hari kala waktu Ashar telah lewat seiring dengan matahari yang kini telah tergelincir ratusan derajat ke ufuk barat tempat ia mengucap selamat tinggal sebelum menyuruh gelap malam agar segera menggantikannya. Kutatap kembali suasana sekolah tempatku mengajar, sudah berangsur sunyi. Jumlah siswa serta guru yang ada kini sudah semakin menyusut dan kalaupun ada, hanya satu-dua. Barang-barang pribadi telah aku bawa dari ruang kelas lantaran dalam waktu singkat pintunya akan segera dikunci oleh penjaga sekolah. Namun aku tak langsung menuju ke rumah, melainkan singgah terlebih dahulu di hamparan padang rumput tak jauh dari sekolah demi membaca sebuah cerita. 

"Kenapa kita harus selalu lihat kekurangan segala sesuatu, Herr Aldi?" Celoteh Stevie sang murid kesayanganku meluncur dari balik bingkai tempat senyum manisnya terkulum. Sudah lama sekali memang dia tak pernah muncul dalam lembaran ceritaku lantaran sesuatu hal. Tetapi kali ini setelah lama tak menulis, aku mencoba memunculkan dirinya lagi dalam ceritaku. "Ya, harus. Soalnya kalo kita lihat kelebihannya dulu, nanti bakalan kecewa setelah lihat kekurangannya." Demikian ucapanku persis seperti apa yang telah kukatakan di atas. Stevie hanya terdiam sunyi di dalam pemandangan senja yang sudah tampak seperti foto, atau bahkan tampak bagai lukisan dalam kamus bahasa romantis. Tanpa pikir panjang, aku segera menceritakan sisi kekurangan yang mulai tampak saatku tengah asyik merangkai mimpi saat remaja dulu. 

                                                                     ***************
Kekesalanku selalu tumpah pada sesuatu hal yang sama sekali tak memiliki sangkut paut erat denganku saat remaja. Bila kalian hendak bertanya apa dan mengapa, dengan jujur bin terus terang kukatakan aku selalu kesal pada tayangan televisi berupa sinema elektronik atau akrab disapa melalu akronim sinetron. Yang menjadi penonton setia bukanlah diriku sendiri, tetapi adik perempuanku satu-satunya yang tengah duduk di bangku kelas tiga SD. Aku tidak tahu apa penyebab adik perempuanku itu merasa kegandrungan dengan sinetron sampai ia hafal siapa nama pemain di dalamnya. 

"Bukan urusan saya! Bukan urusan saya!" Tiga kata dengan 15 huruf itu selalu aku teriakkan kala para tokoh antagoinis beraksi seraya menciptakan adegan kekerasan bersama kekalutan pada tokoh protagonis atau tokoh-tokoh lainnya. Kalimat tersebut terus aku ucapkan sampai-sampai pernah menjadi sebuah kebiasaan yang kini telah lenyap dengan sendirinya. Hingga ayahku menelurkan sebuah pesan berbunyi, "Kurangi bilang bukan urusan saya, nanti bisa ditempelengi orang di jalan." Benar, berbicara seperti itu dapat menyalakan sumbu kekalutan orang lain yang berujung pada melayangnya nyawa salah satu orang. 

Hal-hal macam itu terus bertebaran di layar kaca televisi setiap harinya sampai aku meniatkan diri berkeluh kesah pada ibu mengenai masalah adegan sinetron. Ibuku yang bekerja sebagai seorang dosen di salah satu universitas ini tak berucap banyak kecuali berpesan bila permainan adegan sinetron adalah cara para pemainnya mencari uang demi memenuhi kebutuhan hidup masing-masing seperti kedua orang tuaku. Hanya saja, mereka melakukannya dengan menempuh jalur perbedaan cara. Aku pun terdiam menanggapi ucapan ibu, walau di lain waku ibu turut mengkritisi masalah adegan sinetron. Waktu berlalu, sinetron masih tetap ada namun dengan format-format yang berbeda dari sebelumnya. Bila tokoh antagonis beraksi, kekalutanku akan kambuh sepanjang penayangan seraya meluncurkan kata-kata yang bernuansa menyinggung sampai ayahku memintaku mengontrol peredaran bahasa agar tidak memancing emosi orang lain di luar rumah. 

Sampai di puncaknya, aku mengomeli masalah perederan sinetron yang jelas tak perlu aku sebutkan identitasnya secara keseluruhan demi kenyamanan banyak orang. Di suatu sore, layar kaca televisi rumahku bagai menyalak-nyalak seorang diri sambil menayangkan adegan sebuah sinetron baru saat itu. Masih jelas dalam ingatanku saat sinetron tadi menampilkan momen di mana salah seorang tokohnya tertimpa musibah, tetapi ia justru di-"salahsendiri"-kan oleh tetangga sekitarnya yang kemudian berlanjut pada momen saat terjadi permusuhan antara tokoh protagonis dengan antagonis. Tentulah aku merasa sangat sebal sekaligus kalut menyaksikan pemandangan tidak sedap ini. Di mataku, hal-hal macam ini adalah salah satu penghambat kemajuan tanah air dalam program "Revolusi Mental" gagasan Presiden Joko Widodo. 

Jika bangsa Indonesia secara terus menerus diperbudak oleh tayangan televisi yang sama sekali tidak mendidik, bagaimana akan maju seperti negara-negara di belahan Bumi lain? Adakah pengaruh besar bagi upaya pemberantasan korupsi saat ini? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menggelayuti kepalaku sampai sekarang. Bahkan pada puncak kekalutanku sendiri, dengan kasar aku mencaci-maki sinetron di televisi sampai mengundang reaksi ayah yang tampak turut emosi pula. "Aldi pokoknya bahasa dijaga ya, nanti bisa ngajak orang berkelahi di jalan." Ujarnya sore itu sedang aku masih sangat kalut hingga ibu menitipkan sepenggal pesan padaku yang sampai berusaha menyembunyikan remote televisi pada waktu tersebut. 
"Aldi, yang kayak gini kita sama sekali enggak bisa kontrol sama halnya pejabat korupsi. Meskipun kita kesal, ya tapi mereka enggak bisa dikontrol soalnya itu udah jadi urusan KPK. Sama juga waktu ada maling, mau digebukin sampe mati ya susah. Malingnya mau diapain, itu udah jadi urusan polisi." - Indraswari, ibuku tercinta - 
Sejurus kemudian aku merasa lebih tenang sambil mengingat pesan dari ibu yang sampai sekarang masih aku ingat dengan jelas dalam benak. 

Membaca cerita di atas, kini aku mempertanyakan ekspektasiku sendiri berupa mimpi sebagai seorang guru. Barangkali sudah pernah aku bilang, seorang guru memang harus memiliki jiwa sabar kuat dalam dirinya karena dalam proses mendidik, tentulah seorang guru harus sangat sabar sebab bila ia sering emosi, maka reputasinya akan terpengaruh. Kala ia tengah dites sebagai calon guru, kadar emosi akan memengaruhi penilaiannya. Ini cocok jadi guru enggak? Pertanyaan terkait ekspektasi selalu beterbangan dalam angan bila melihat kekuranganku pada masalah emosi. 

Aku memang menggenggam kelebihan berupa kemampuan Berbahasa Jerman, tetapi kelebihan Bahasa Jerman tadi akan memudar sedikit bila kekurangan terkait emosi tampak di depan, apalagi sebagai seorang guru. 

Ekpektasi mengenai kekuranganku masih aku pertanyakan sampai sekarang. 

                                                                   ***************
Lain hal dengan impianku sebagai seorang kepala negara alias Presiden Republik Indonesia yang telah aku tanamkan sejak usia 15 tahun, tepatnya saat Presiden Joko Widodo memulai masa kekuasaannya seiring dengan awal masa SMA dahulu. "Stevie, buat kamu apa sih kelebihan atau enaknya jadi presiden?" Aku mencoba membangun percakapan di tengah-tengah cerita tentang sisi gelap milik sepenggal impian. Stevie tak langsung menjawab, melainkan ia harus berpikir lebih jauh demi mencari apa jawaban yang tepat bagi diriku. 

Tinggal di Istana, pergi naik mobil bagus, sering pergi keluar negeri, gaji besar, hidup serba berkecukupan. Itulah gambaran umum setiap pasang mata saat melihat seorang kepala negara. Ya, kuakui itu memang benar. Namun dalam filosofinya, seorang presiden justru hidup dalam segenap tekanan terkait kondisi negara. Secara materiil memang hidup enak, tetapi secara psikologis justru tidak tenang seperti yang dikemukakan dalam teori "Jadi politisi, punya uang banyak tapi tidur tidak nyenyak" oleh putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka. Hal tersebut yang membuat Gibran urung maju sebagai seorang politisi seperti sang ayah. 

Singkat cerita, aku pernah dikritik keras oleh salah seorang teman karena masuk SAMBA (organisasi semacam OSIS) di sekolah tanpa berusaha melalui latihan dasar kepemimpinan. Aku memang jujur berterus terang pada temanku itu bilaku sedang jatuh sakit masuk angin sehingga orang tua tidak memperbolehkanku ikut LDK di alam lepas. Semakin jujur ucapanku, maka semakin keras kritikan untukku pula. Aku masih ingat, dirinya bilang jika anak-anak lain termasuk dia saja kuat bertahan selama tiga hari sampai sakit diare lengkap dengan dimarah-marahi senior. Dalam padangannya ini terlihat tidak adil, namun aku tak merasa sakit hati mendengar ini. Mengapa? 

Tentu ini adalah sebuah peluang tentang mimpi jadi presiden. Yang namanya presiden, pasti tak akan lepas dari kritikan sepanjang hari sepanjang masa jabatannya. Ia akan selalu dihujat oleh orang-orang yang benci dengannya lantaran penderitaan rakyat yang tak kunjung sembuh dan kemajuan yang tak kunjung berjalan lebih cepat. Demikian kekurangan dari jabatan seorang presiden. Selaras dengan pengalamanku di atas tadi. 

                                                                    ***************
"Kamu ngerti kenapa kita harus selalu lihat kekurangan dulu sebelum kelebihan Stev?" Cerita panjang kali ini rupanya membuat aku tidak sadar telah berkisah dalam kurun waktu lama. Kulirik jam tangan bertali cokelat tua di pergelangan. Sudah lewat pukul empat sore. Ini artinya aku sudah harus mengakhiri cerita panjang tentang kekurangan yang harus selalu dilihat sebelum kelebihan. "Ya aku ngerti Herr." Ujar Stevie sambil dirinya beringsut pulang menyusuri hamparan padang rumput yang bergoyang di sore hari. Aku pun membuntuti langkahnya walau hati masih ingin menjorokkan diri serta pandangan pada sebuah telaga berair tenang di antara rumput-rumput bergoyang. Tetapi senja seperti menyuruhku segera pulang, sahabat-sahabat... 

Sampai jumpa di kisah lainnya, kawan-kawanku tercinta...

Tertulis, kisah indah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan


Bandung, 12 Agustus 2016
Pukul 21.26 WIB
-Herr Aldi Van Yogya-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi