Compact Disc/CD mulai ditinggalkan (?)

 

Habis manis sepah dibuang. Pepatah itu yang tampaknya sangat cocok menjadi cerminan atau gambaran bagi khalayak publik saat ini yang justru melakukan hal kebalikan dari arti sang pepatah, bila ada teman baru teman lama jangan ditinggalkan. Kepada Stevie aku kembali bercerita bila musik pada hakikatnya adalah bagian dari perjalanan hidup manusia dalam segala suasana, baik senang atau sedih dan untuk bisa mendengarkannya dengan mudah dahulu kita gemar membeli cakram padat atau Compact Disc di toko musik. Tetapi semakin kesini, jumlah peminat cakram padat semakin menurun seiring dengan perubahan zaman. 

Berlembar-lembar halaman buku agenda aku singkap di bawah tiupan sepoi-sepoi angin senja yang mengharuskan rumput-rumput bergoyang di sebuah lapangan tak jauh dari sekolah tempatku mengajar sekaligus Stevie belajar padaku. Saat ini cerita tentang perjalanan masa remaja seiring dengan sepenggal kisah cintaku pada seorang gadis remaja seperti yang pernah aku ceritakan sebelumnya. Tetapi hari ini aku ingin bercerita tentang perkembangan dunia musik beserta alat-alat hiburannya yang sebagian terjadi dengan perjalanan hidupku sejak lahir sampai sekarang. 

Era 1950-1970an menjadi masa emas bagi piringan hitam, sebuah alat serupa cakram padat berwarna hitam legam dengan ukuran besar dan lebar. Barangkali orang tua dan kakek-nenek kita pernah mengalami masa kejayaan piringan hitam yang sepertinya hanya bisa memuat lagu tanpa video klip serta untuk memutarnya perlu memakai sebuah alat khusus yang memiliki bentuk seperti terompet. Lalu sang piringan hitam akan berputar-putar sesuai durasi total album salah seorang artis sambil diganjal oleh sebatang tongkat sebesar pensil di bawah. 

Waktu berganti, Era 1980-1990an kaset mulai merajai pasaran yang masih lazim aku jumpai saat masih kecil dulu. Setiap kali seorang artis merilis album, pasti bentuknya adalah kaset yang merangkap status sebagai sahabat radio dengan sajian-sajian lagunya di waktu senggang milik para manusia. Aku masih merasakan zaman ketika kaset bersanding di toko musik bersama para cakram padat di tahun 2000an saat teknologi sudah canggih sedikit demi sedikit. Cakram padat pun masih sempat terjamah oleh tanganku sampai awal tahun 2010an kala internet mulai menjamur yang menyebabkan cakram padat mulai ditinggalkan sedikit demi sedikit. 

Hal tersebut merasuki anganku saat pelajaran Sosiologi di hari pertama belajar sebagai siswa kelas 12 dulu. Masih terbayang jelas dalam ingatanku saat Bu Winda memaparkan dua buah teori perubahan sosial yang tak lain tak bukan adalah teori siklus serta teori linier. Saat membahas teori linier inilah aku ingat topik mengenai cakram padat. Kini popularitas benda berbentuk mirip kue donat tersebut telah terganti oleh internet serta berbagai macam aplikasi dalam telepon seluler yang bisa dipakai mendownload oleh setiap orang seperti iTunes. Firasatku tentang meredupnya popularitas CD seperti benar meski aku tetap berharap para musisi tanah air tetap memberi karya terbaik bagi Indonesia. 

Buku agenda aku tutup seiring dengan nyanyian merdu Stevie di atas rumput bergoyang yang terasa sama seperti harapanku pada perkembangan musik tanah air. Semoga para musisi tetap berkarya, sahabat-sahabat...

Tertulis, kisah indah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan.

Bandung, 2 Agustus 2016
Pukul 17.33 WIB. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi