Obrolan dalam kedai kopi

Sumber gambar: wallpapercave.com

Awan mendung kelabu nan pekat dalam realitanya memang selalu sudi menggantung pekat di langit Kota Yogyakarta, sebuah kota yang populer akan gudeg serta jumlah pelajar yang bersemangat menuntut ilmu di sana. Hujan tak lupa dimuntahkan oleh tudung kelabu langit Yogya begitu seorang guru muda melangkahkan telapak kakinya secara pasti menyusuri pinggiran Jalan Prawirotaman agar ia dapat sampai di Sellie Coffee, sebuah kafe yang mendadak tersohor lantaran hadirnya Ada apa dengan Cinta 2 sang legenda perfilman tanah air. Di sana aku jelas tak menyusun janji apapun dengan seseorang. Namun udara dingin sudah membekapku dalam sekejap. Padahal dalam filosofinya Yogya memang bersuhu udara panas. 

Sengaja tak kutulis latar cerita ini di Jalan Malioboro karena tempat itu memang sudah sangat familiar di telinga para manusia. Kini kucoba ajak kalian menyusuri sudut lain Kota Yogya dalam rangkaian kisah ceritaku ini. 
                                                                      **************
Pintu kaca berbingkai kayu ini aku kuakkan lebar-lebar seiring dengan menarinya rintik-rintik hujan di lantai teras kafe yang tampak menjalin sinkronisasi dengan nyanyian serdadu-serdadu kodok malam. Kuakui itu benar, kodok-kodok malam. Tetapi jam tangan bertali cokelatku menuturkan ini masih sore, hanya saja para kodok malam tadi sudah tak sabar mempersembahkan suaranya pada manusia dan hampir saja ku tak sadar salah seorang pelayan kafe telah berdiri di depan batang hidungku seorang diri. "Hallo, willkommen nach Sellie Coffie. Was möchten Sie bestellen?" (Halo, selamat datang di Sellie Coffie. Anda mau pesan apa?) Pelayan dengan tampang indo itu menyapaku ramah dalam Bahasa Jerman (padahal ini di Yogya), batinku pada diri sendiri
"Ach ja, hallo und vielen dank. Ich möchte bestelle ein taβe heiβ schokolade und ein Wiener Schnitzel, bitte." (Oh iya, halo dan terima kasih. Aku ingin pesan segelas cokelat panas dan Wiener Schnitzel, mohon." Jawabku pada sang pelayan yang belakangan ini aku ketahui memang blasteran Indonesia-Jerman dari kedua orang tuanya. Ia memang blasteran sampai darah-daging, tak hanya menempel di wajah. "Nur bestellen es?" (Cuma pesan itu?) Selorohnya lagi. "Ja, natürlich." (Ya, tentu saja.) Pelayan lelaki tadi berlalu dalam sekejap, meninggalkanku seorang diri. Tak sempat menunggu arahan apapun dari dirinya, kucoba mencari kursi yang nyaman bagiku tuk diduduki.

Hujan. Mendung. Pemandangan di luar masih sama seperti saat aku datang tadi. Sampai sekarang tak menunjukkan perubahan apa-apa sampai aku menatap sekilas pasangan muda di sebelahku. Mereka berdua tampak tengah asyik menikmati pertalian asmara di kafe ini, tetapi sayang aku sama sekali tak mengenal mereka. Maka pandanganku palingkan pada kertas menu di atas meja kayu ini. "Herr Aldi, Sie sind hier. Warum nicht teil erste bevor kommen hier?" (Herr Aldi, anda di sini. Kenapa enggak mengabari sebelum datang ke sini?" Suara seorang gadis menggema di tepi daun telingaku yang saat ini berdiri, pertanda aku sangat mengenal suara itu.

Aku palingkan pandangan ke sudut kanan meja. Kulihat gadis cantik itu di seberang sana. Stevie. Tumben dia hadir di sini. Ujarku pada diri sendiri seolah tak percaya akan kehadirannya yang justru tidak seorang diri. Persis di sebelahnya si gadis bunga berdiri tegak ditemani oleh Ariq, Akbar dan Abang. Dengan tangan terbuka aku mempersilahkan mereka berlima duduk satu meja denganku agar bisa memesan makanan sesuai selera masing-masing. Terus terang saja, kini aku merasa kesulitan menghadirkan Stevie dalam ceritaku. Namun bagaimanapun juga, dia tetap murid kesayanganku yang mesti dihadirkan dalam cerita ini.

"Ehm, Herr Aldi ngefans sama Gloria si paskibraka ya? Btw cuma sebatas ngefans atau ngecengin nih?" Tutur kata seperti pertanyaan polos itu meluncur dari balik bingkai senyum manis Stevie, persis seperti ucapan Maureen di waktu pulang sekolah dulu. Bedanya hari ini Maureen si gadis pemakai kupluk abu-abu tak kulihat di Sellie Coffee. Namun jika kembali pada wajah Stevie, senyumannya kini sungguh menggoda dan tak ingin ia terus menggodaku, aku segera menjawab pertanyaan Stevie. "Bapak sih cuma sebatas ngefans sama Gloria. Tapi kalo urusan ngecengin, ya tetap si doi." Tuturku jujur seolah tak ingin didengar si gadis bunga. Usai memesan makanan, Stevie ingin mengetahui cerita tentang Gloria. Aku segera bercerita tentang dirinya, tanpa pikir panjang lagi.

                                                                      **************

Gloria si gadis manis berkulit sawo matang jelas sudah pernah aku tulis di sini. Tetapi aku lebih banyak berbicara mengenai latar belakang profil dirinya sedangkan untuk saat ini, aku ingin bercerita tentang alasan apa yang menyebabkanku merasa kagum pada Gloria. Kulihat wajah Stevie sekali lagi, cantik memang. Namun ia selalu menggodaku dalam urusan jatuh cinta. Ahhhh....Rasanya aku malu membayangkan seperti apa jatuh cinta. Ah, sudahlah. Lupakan saja urusan jatuh cinta dan sekarang fokuslah pada alasan kenapa aku kagum dengan Gloria setelah Presiden Joko Widodo.

Alkisah hari Jumat sore, aku memenuhi jadwal kontrol rutinku ke dokter gigi di daerah Bandung Barat, tidak jauh dari Bandara Husein Sastranegara. Alhamdulillah lalu lintas kota kembang dalam senja itu relatif lancar hanya saja jumlah pasien yang mengantri di tempat praktik sang dokter gigi secara kebetulan membludak di senja itu hinggaku harus menunggu dalam waktu lama. Satu setengah jam aku menanti di sana, perasaan tidak tenang (baca: uring-uringan) menggelayutiku lantaran ibadah Shalat Maghrib tak dapat kutunaikan dengan tepat waktu. Aku tahu, sejatinya ajaran Islam memang sudah memberi keringanan beribadah bagi para musafir perjalanan jauh. Tetapi aku memang tak sering menunaikan perjalanan jauh dan lebih sering shalat di awal waktu.

Begitu tiba giliranku, seperti lazimnya ibu dokter gigi menyapaku dengan gelar "Presiden" seraya bertanya kegiatan apa yang tengah dilakukan sekarang. Aku menjawab sesuai dengan kegiatan Presiden Joko Widodo yang tak lain tak bukan adalah upacara 17 Agustus di Istana Merdeka dilanjut dengan kunjungan kerja ke Provinsi Sumatera Utara. Untuk selanjutnya, kawat gigi yang aku kenakan hanya saat tidur diperiksa oleh dokter gigi. Saat kawat gigi diperiksa inilah aku menyinggung tentang Gloria.

"Gloria tuh pengibar bendera bukan?" Tanya salah satu perawat. "Betul." Jawabku singkat. "Cantik enggak?" Selorohnya sekali lagi. Kuakui Gloria memang sangat cantik. Dari segi latar belakang tentang cita-citanya, ia memiliki kemiripan denganku yang dahulu pernah menanam cita-cita sebagai seorang kapten pilot pesawat sampai mengubah haluan demi menyabet gelar Kepala Negara. Usianya pun sepantaran, 16 tahun sedang aku 17 tahun serta ia bisa saja menyandang status pesaingku bila nanti maju sebagai seorang calon presiden. Disinilah sebab aku kagum pada Gloria tersingkap oleh cerita.

Tak lupa aku memasang lagak seperti presiden sungguhan nan profesional hingga muncul spekulasi dimana saatku mengemban amanah rakyat sebagai kepala negara, Gloria akan menyandang jabatan sebagai pilot pesawat kepresidenan. "Halah enggak apa-apa Glor, yang penting kita bisa kontribusi bareng buat kemajuan Indonesia. Lha dulu saya juga kapten pesawat Airbus, pernah bawa pesawat kemana-mana." Demikian selorohanku seolah-oleh seperti berbicara pada Gloria hanya beberapa saat sebelum pulang. Jujur kukatakan, sepanjang perjalanan aku kerap terbayang-bayang akan sosok Gloria. Pilih mana, Gloria atau si gadis bunga? Tampaknya sulit mengambil salah satu pilihan itu, namun cukupku tuturkan bilaku memilih jatuh cinta pada si gadis bunga sedang kagum kutepikan pada Gloria.

                                                                       **************

Kulihat lagi suasana di luar Sellie Coffee. Masih hujan, tak ada sedikitpun perubahan dari awal sampai akhirku bercerita. Kelima orang terdekatku dalam satu meja tanpa kusadari telah mendengarkan ceritaku dengan seksama kendati mereka tak ikut banyak bertutur-kata. Stevie tampak tak ingin menggodaku lagi sebab ia sudah paham akan isi ucapanku sore ini. Tetapi dengan penuh perasaan dan kehati-hatian, aku katakan pada mereka bila profesi presiden pun sangat membutuhkan kesabaran ekstra layaknya Guru Bahasa Jerman. Aku tahu itu kendati kesabaranku belum mencapai titik maksimal.

Masih ada yang harus kuperbaiki, masih ada yang harus kuevaluasi dan tentu ada yang harus kupertahankan sampai selamanya. Ingin kubicara pada rintik-rintik hujan, tetapi aku rasa obrolan dalam kedai kopi sore hari ini cukup sampai disini, sahabat-sahabat...

Tertulis, kisah indah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan.

Bandung, 20 Agustus 2016
Pukul 07.38 WIB
-Herr Aldi Van Yogya- 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi