Dilema menjadi sesal

 
sumber gambar: http://quotesgram.com/sad-quotes-about-rain/ 

Dilema, sesal, dilema, sesal, dan dilema, dan sesal. Mengapa demikian? Rasanya terlalu cepat berubah dari dilema menjadi sebuah sesal di dasar hati. Saat fajar menyingsing aku baru saja menuliskan kisah tentang sebuah dilema saat hujan datang kepadaku nun jauh di Kota Yogya sana tanpa kehadiran teman satu orang pun disampingku. Tetapi saat senja akan mengucap selamat tinggal, aku justru merasa itu seperti sebuah sesal yang bisa datang dan pergi sesuka hati. Dilema lagi dan sesal lagi. Begitu terus sampai yang kesekian kalinya. 

Masih berbicara tentang masa reses terlamaku sepanjang perjalanan hidup dengan sisa waktu selama empat hari lagi. Dilema tampak semakin menjadi-jadi dalam benak dan seluruh ruang hatiku hari ini sebab banyak hal yang belum sempat kulakukan di awal masa reses hampir sebulan silam. Hal tersebut terjadi lantaran aku terjajah oleh writers block, sepenggal situasi dimana seseorang merasa kehilangan kemampuan untuk menghasilkan karya tulis di atas selembar kertas. Writers block-lah berdiri kokoh bagai sebuah benteng pertahanan milik musuh di depan mata sana. Masa reses menjadi sebuah masa yang paling dirindukan semua orang memang, termasuk diriku. 

Tetapi, kini cobalah bercermin pada kisah-kisah masa reses di waktu lampau, semuanya tak ada yang meninggalkan kesan berarti bagiku seperti kisah di tanah Dataran Tinggi Dieng lebih dari satu setengah tahun lalu. Seperti cerita terdahulu dariku, momen kunjungan bersama-sama ke Dieng rupanya dimanfaatkan oleh tiga orang teman lelaki untuk bertanya terkait dengan siapa aku jatuh cinta. Aku menjawab tidak ada, tetapi mereka tetap memaksa sembari mengeluarkan beberapa pilihan nama gadis remaja hingga pada akhirnya aku memilih salah seorang gadis remaja sekaligus teman sekelasku. Ingin kusebut namanya, tetapi malu keburu menghalangi. 

Lupakan kisah di tanah Dieng, kini kembali menerawang kisah-kisah di masa reses. Semuanya tak ada yang indah dan secara otomatis mendorongku pada sebuah dilema sebagai bagian dari ceritaku pada Stevie sang murid kesayanganku. Di tengah masa belajar yang sudah tentu terjadi bersamaan dengan masa remajanya, pasti ia juga mengalami dilema terkait masa reses persis sepertiku saat masa sekolah dulu. Bahkan sampai saat ini usai status guru disematkan pada diriku, dilema tentang masa reses masih saja hinggap seperti seekor harimau yang hendak menelan mangsanya sampai habis. 

Lalu, apa penyebab dilema besarku sejatinya? Diriku kembali dihinggapi pertanyaan yang sungguh sangat menghujam ruang hati dan aku butuh waktu demi menjawab pertanyaan penghujam dadaku. Hari ini kala langit telah beranjak senja, keramaian Kota Yogya atau lebih tepatnya di persimpangan Condong Catur tampak semakin surut oleh rintik hujan si pencipta keramaian segala penjuru kecuali pedalaman lubuk hatiku seorang diri. Aku terus bertanya-tanya kepada diri sendiri hingga akhirnya sebuah titik terang menyinari hatiku layaknya sumbu lentera jiwa. 

Tadi pagi saat menuliskan rasa dilema dalam hujan, rupanya aku terlalu bersemangat menuliskan kisah pembuka masa reses berupa kegiatan buka puasa bersama di restoran cepat saji Richeese. Aku bersua dengan si gadis bunga usai berkontak-kontakan sebelumnya dan secara sengaja aku menceritakan apa yang kulihat dari barang milik si gadis bunga sebagai pembuncah jalan pikiranku di kala senja itu. Tulisanku didominasi kisah bersama si gadis bunga dan kawan-kawan sedangkan kisah lain di pertengahan hingga menjelang akhir masa reses, hanya satu-dua baris kalimat. Atau paling banyak tiga kalimat. 

Dilema telah sampai pada titik terang tempatnya bermuara, kini jawaban mengapa dilema berbuntut rasa sesal telah menyeruak hingga ruang bathinku. Walau belum bisa tenang, tetapi cukuplah bersyukur dan mengucap "Alhamdulillah" karena titik terang telah didatangkan oleh Sang pencipta.

Tertulis, kisah indah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan.


Bandung, 20 Juli 2016
Pukul 18.16 WIB. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi