Masa reses yang terkenang (1)

 
sumber gambar: www.lifehack.org. 

Polderbaan, Amsterdam-Belanda, kala fajar akan menyingsing.


Di antara dengung mesin pesawat terbang yang menciptakan suara bising bahkan terkadang sampai level kegaduhan, seorang guru muda tengah asyik mengarahkan lensa kameranya pada sebuah pesawat Airbus A380-800, salah satu seri pesawat favoritnya sejak remaja dulu. Kurang dari sepuluh menit sebelumnya ia berhasil mengabadikan pergerakan si burung besi Boeing 747-400 sesaat usai pendaratan di Polderbaan pagi ini. Puas memotret, ia menyeruput segelas kopi panas hingga seorang gadis menepuk pundaknya. 

Bukannya menjelaskan apa maksud ia menepuk pundakku, tetapi jemari tangan kiri malah diapit di antara kedua paha bersama tangan kanannya. "Waarom, mag ik helpt u Maureen?" (Kenapa, apa saya bisa bantu kamu Maureen)? Ujarku dalam Bahasa Belanda dengan fasih. "Oh, Herr Aldi, het je schrijven een verhaal op de afspraak boek?" (Oh, Herr Aldi, amda menulis cerita di buku agenda ya?) "Ja, ik schrijve het verhaal op mijn afspraak boek." (Ya, saya menulis cerita di buku agenda." Demikian percakapan bahasa Belandaku dengan Maureen. Sedangkan kawan-kawan dekatku yang lainnya saat ini tengah asyik berbincang di mobil dan terkadang mereka mengobrol bersama seorang bule. 

Melihat Maureen membaca buku agendaku, tanpa kusadari rupanya aku juga ikut membaca cerita karanganku sendiri. Ya sudahlah, situasi saat ini telah kepalang tanggung bagi jiwa sang guru muda. 

Kala itu, nun jauh di Bandung pada Bulan Desember 2014. 

Masa belajar di semester satu tahun ajaran 2014-2015 memang telah usai dan diakhiri dengan ritual pembagian rapor SMA yang saat itu berbeda dengan hari pembagian rapor SD dan SMP. Namun sudahlah, kapan pun dan tanggal berapa pun pembagian rapor dilaksanakan intinya tetap akan sama. Seperti yang kuketahui, di awal (sebenarnya sudah di pertengahan masa reses pula) guru SMA akan mengadakan kegiatan minggu/semester pendek dengan tujuan memperbaiki nilai-nilai dari siswa yang masih dirasa kurang dari standar. Pak Arief sang kepala sekolah juga mengatakan hal serupa, hanya saja beliau menambahkan bahwa kami harus mengorbankan waktu libur selama beberapa hari sedangkan bila tidak ada perbaikan di masa semester pendek, maka nilai hasil perbaikan tersebut tidak akan diterima di kemudian hari.

Apa boleh buat, ketika hari Senin di minggu pertama masa reses aku harus datang ke sekolah agar bisa menuntaskan perbaikan nilai Matematika. Sejak dulu aku memang sangat sebal dengan pelajaran hitungan dan untuk tugas di minggu pendek ini, Pak Nandang menyuruhku mengerjakan kembali soal UAS sambil melihat catatan di buku/worksheet tetapi tidak boleh bertanya pada orang lain. Di hari itulah aku menjawab ulang soal UAS hingga selesai. Saat aku akan pulang, aku sempat menunggu Pak Nandang memberi izin dari dalam ruang kelas dan ketika aku berbisik dengan isyarat, beliau memberi lampu hijau dari balik kaca jendela walau jarak kami berjauhan.

Alhamdulillah, satu tugas sudah selesai di Hari Senin. Maka oleh karena itu saat hari sudah beranjak siang, aku berangkat ke Kampus Unpad Jatinangor demi menjemput ibu di sana. Beliau sedang ada keperluan dan aku menunggunya. Pulang saat rintik hujan datang, ibu rupanya tidak sendiri sebab salah satu temannya ikut menumpang dan kami menyempatkan diri membeli tahu sumedang di pinggir jalan. "Hehehe, je zijn zoals het huis buiten de stad wil hebben om te kopen sommige, Herr Aldi." (Hahaha, anda seperti pulang dari luar kota saja sampai harus membeli oleh-oleh, Herr Aldi.) Potong Maureen di tengah ceritaku.

Hari Rabu pun tiba, kini giliranku menuntaskan perbaikan nilai Bahasa Inggris. Masih tergambar jelas dalam benakku, saat perbaikan nilai Bahasa Inggris di Kelas 10 aku diminta mengerjakan beberapa worksheet sampai beres tentunya. Usai aku beres, ternyata nilaiku sudah memenuhi kriteria ketentuan minimum bin KKM. Maka dari situ aku langsung bergerilya mengelilingi sekolah demi menyergap Pak Arief untuk menandatangani hasil perbaikanku. Tetapi sayang seribu sayang, radar gerilyaku gagal mendeteksi keberadaan Pak Arief sehingga urusan menandatangani hasil perbaikan harus aku wakilkan pada Bu Asih. "Aldi melanjutkan ke semester dua?" Tanya Bu Asih. "Ya, Alhamdulillah lanjut ke semester dua." Beliau pun menandatangani kertas perbaikan sebelum aku menyerahkannya pada Bu Nina, staf bagian administrasi.

Kamis, 25 Desember 2014. Sebagian orang tentu tak mau melewatkan hari yang sangat istimewa ini. Libur tanggal merah di hari ini aku gunakan tuk berkumpul dengan sebagian kecil kerabat dari keluarga besar ibuku di rumah nenek. Kami mengobrol ngalor-ngidul di hari itu sampai selesai dan di Hari Sabtu, 27 Desember 2014 waktu aku habiskan dengan berkunjung ke rumah kerabat pula di daerah Kopo. Mengobrol ngalor-ngidul, hal tersebut aku lakukan pula.

BUKAN MENGOREK LUKA LAMA. 

Aneh memang ketika ku dengar berita sesuatu kala fajar menyingsing di hari Minggu pagi. Aku baru saja keluar dari kamar mandi, ibu memanggilku masuk kamar lalu aku membaca berita tentang laporan pesawat terbang hilang kontak saat dalam perjalanan dari Surabaya ke Singapura. Insiden hilangnya Pesawat AirAsia QZ 8501 dalam waktu singkat menjadi viral di seluruh penjuru tanah air ditambah dengan kesaksian seorang nelayan yang mengutarakan bahwa dirinya sempat mendengar suara bising lalu melihat pesawat terbang rendah sebelum berubah menjadi suara ledakan keras yang sepertinya terjatuh usai menghujam air laut.

Upaya pencarian demi upaya pencarian terus dikerahkan demi melacak keberadaan pesawat nahas tersebut hingga muncul petunjuk hanya dalam waktu tiga hari berupa jasad korban beserta puing-puing pesawat. Alhasil, tahun baru 2015 pun menjadi sebuah duka. Presiden Joko Widodo yang kala itu baru dua bulan menjabat pun tidak tinggal diam. Usai menghadiri perayaan natal di Papua sebagai bentuk simpati dari seorang kepala negara, beliau meninjau posko evakuasi milik Basarnas di Pangkalan Bun-Kalimantan Tengah serta Laut Karimata.  Tak lupa posko crisis center di Surabaya beliau datangi demi menemui keluarga korban. Satu hal yang paling menarik perhatianku adalah rapat kabinet terkait insiden AirAsia. Presiden Jokowi saat itu duduk dengan mengenakan jas tetapi badan beliau terbungkuk dengan wajah murung dan kursi bergetar-getar. Barangkali ia memikirkan nasib korban AirAsia, batinku kala melihat ekspresi wajah mantan Walikota Solo ini.

Di tengah-tengah kehebohan ini aku masih menyempatkan berkunjung ke Dusun Bambu di Lembang sana. Sepanjang perjalanan, radio mobil masih gencar mewartakan insiden AirAsia termasuk pernyataan Perdana Menteri Australia 2013-2015 Tony Abbot yang meminta insiden AirAsia tidak dibanding-bandingkan dengan Malaysia Airlines MH370 bulan Maret silam. Proses terus berlanjut hingga aku berada di Dusun Bambu selama setengah hari. Siang harinya saat makan siang di Kampung Daun tidak jauh dari lokasi Dusun Bambu, ayahku menerima sebuah pesan singkat yang berbunyi:
"Ayah Aldi yth. Ini dengan suster dokter Wati. Mau mengingatkan hari ini Aldi ada jadwal kontrol jam 17.00 WIB. Mohon konfirmasi & terima kasih." 
Maka oleh karena itu, sorenya sebelum kontrol rutin ke dokter gigi aku mendatangi Krang Kring dan saat sampai di tempat praktik sang dokter gigi, aku memulai percakapan tentang pesawat AirAsia. Sontak, kami menjadi agak heboh membicarakan pesawat AirAsia. "Kalo baca nama bayinya sih kayak Orang Korea." Ujar dokter Wati saat itu. "Berarti yang dua lagi bapak-ibunya." Sambung ayahku.

Waktu terus berlalu, Ciater pun dapat dijamah olehku sampai tahun baru tiba. Tanggal 1 Januari 2015 aku memang tidak pergi kemana-mana alias hanya berdiam di rumah dan tanggal 2 Januari, baru aku berangkat ke bank mengantar nenek mengambil uang pensiun di Bank Mandiri Jalan Riau. Masih heboh seputar AirAsia di penghujung masa reses pertama sepanjang perjalanan masa SMA. Aku menjadi semakin galau bin risau karena masa reses yang selalu terkenang itu akan segera berakhir tepat tanggal 5 Januari 2015 kala sekolah lain baru akan masuk tanggal 12 Januari 2015.

Huffh... Cerita panjang yang tak selalu kusadari berakhir dengan ditelan angin pagi milik tanah Polderbaan sambil sesekali deru mesin pesawat berdengung kencang. Sekilas timbul sesal di ulu hati. Mengapa bagian awal masa reses tertulis begitu panjang dan cerita ini adalah bagian yang tidak kusuka di awal sedangkan bagian yang lebih aku sukai justru tertulis di akhir dan jauh lebih singkat. Buku agenda aku tutup tepat saat sebuah pesawat Airbus A380-800 datang melintas di depan mata. "Dank u well voor de verhaal, Herr Aldi." (Terima kasih untuk ceritanya, Herr Aldi.) Senyum manis Maureen terkulum di parasnya bersamaan dengan senyum dua gadis lain, si gadis bunga dan Stevie dalam benakku sebagai penghilang sesal dalam ruang bathin.

Tertulis, kisah indah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan.

Bandung, 22 Juli 2016
Pukul 07.02 WIB. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi