Melengkapi kisah di hari senja (tulisan seorang pujangga)

Aarhus, Denmark, di musim dingin Bulan Desember. 


Belanda pada akhirnya jemu dijadikan latar tempat dalam lembaran-lembaran cerita indah milik si guru muda yang merangkap pujangga muda di mata murid dan teman-temannya begitu pula dengan keluarganya. Praha, sebuah kota besar di tanah daratan Republik Ceko pun jemu dituliskan dalam lembaran cerita sang guru pujangga padahal baru satu kali. Tetapi sudahlah, bumi Eropa terhitung sangat luas bagi ukuran seorang penjelajah yang mengemban tugas mengembara ke seluruh penjuru dunia. Kini aku bernaung pada daratan Aarhus, sebuah kota pelabuhan di wilayah barat laut Denmark. 

Lalu lalang makhluk berkepala pirang dan berkulit putih bersih yang kadang-kadang ditumbuhi bintik-bintik jerawat merah pada orang tertentu hari itu tak menyurutkan pandanganku mencari dua orang gadis asal tanah air di antara mereka. Perawakan makhluk kaukasoid itu tinggi besar memang, tetapi bagaimanapun juga aku harus tetap menemukan dua gadis tersebut seraya membulatkan tekad pada genggaman di buku agenda hitamku. Buku agenda hitam dan buku agenda hitam untuk yang ke sekian kalinya. Ditemani burung-burung Merpati dan segelas teh manis, aku dengan sabar menanti kedatangan si gadis bunga dan si gadis cahaya langit sebagai julukan sesuai arti namanya masing-masing. 

Begitu aku berpaling dari semburan cahaya matahari di perairan dermaga Aarhus, suara si gadis bunga memekik-mekik menyebut namaku sambil berjalan agak tergopoh-gopoh. "Herr Aldi!! Herr Aldi!! Akhirnya ketemu juga di sini..." Ujarnya sambil sedikit terengah-engah, padahal tidak berlari. Di belakangnya si gadis cahaya langit turut membuntuti dengan perasaan serupa. Tiada peluh mengucur deras di dahinya, maka si gadis cahaya langit hanya membetulkan kupluk abu-abu yang membungkus sebagian rambut panjangnya sebelum ia menawarkan sepotong roti cokelat. Aku menerima roti cokelat itu dengan halus dan senang hati, sudah tentu. 

Kisah di senja kemarin masih belum selesai, dan di senja hari ini aku telah menghunus niat kuat tuk melanjutkan cerita pada dua gadis pelengkap keindahan muka bumi di mataku. Buku agenda hitam telah aku singkap lebih dari setengahnya, dan tanpa banyak bicara lagi aku segera bercerita pada dua gadis tadi. 

Kala itu hari Minggu siang nun jauh di Bandung sana, belasan ribu kilometer dari Aarhus ibu sudah berangkat lebih dulu demi menghadiri reuni berbalut halal bihalal dengan temannya semasa SMP di cafe Le Marly 10, Jalan Citarum (tanpa kutahu nomor berapa) tetapi yang jelas ada di depan Masjid Istiqomah. Sesuai titah dari ibu, aku melangkah masuk ke cafe seorang diri dan di dalam aku melihat belasan atau mungkin puluhan bapak-bapak dan ibu-ibu tengah asyik berbincang sebagai bagian dari kebersamaan. Begitu tahu aku datang, ibu segera berpamitan lalu menuju mobil untuk selanjutnya meneruskan perjalanan ke KPAD (Komplek Perumahan Angkatan Darat) di Gegerkalong, Bandung. 

Sedianya, kami sekeluarga akan mengunjungi rumah Tante Anny di daerah Sariwangi sekaligus bertemu Mbak Rara, sepupuku dari Cilegon yang kini mudik ke Indonesia dengan alasan tinggal di Qatar beberapa tahun belakangan ini demi mengikuti suaminya yang kebetulan bekerja di sana. Ia tak datang sendiri, melainkan datang bersama ketiga buah hatinya ditambah keponakan langsungnya dari sang adik ipar yang aku tidak tahu siapa namanya. Begitu datang di Gerlong, aku menyapa Om Adang dan Mas Ponti untuk berbincang-bincang sebentar sekaligus membuka gerbang silaturahmi. Sedangkan di dalam Eyang Wiharna telah menanti seraya duduk di kursi ruang tamu. 

Hanya sekitar 10 menit berselang, Tante Anny datang bersama Anya dan Om Asep lengkap dengan ketiga buah hatinya yang kini sudah gadis-gadis. Bersalaman kami lakukan di awal dan selanjutnya kami berbincang-bincang hingga pukul tiga sore sebelum perjalanan kembali berlanjut ke rumah Teteh Ayu, kakak sepupuku yang kini sudah berkeluarga di Jalan Cilaki. Kami datang setelah melewati waktu ashar dan kala pintu kaca diketuk, seorang wanita paruh baya melangkah diikuti oleh seorang balita dua tahun. Tak lain tak bukan, mereka adalah ibu mertua Teteh Ayu serta cucu pertamanya, Althaf. Tujuan utama kami datang ke rumah ini adalah untuk menjenguk Bara sang putra kedua yang lahir tiga bulan lalu di Jakarta. Ia terlihat sangat lucu dan menggemaskan. 

Di sana aku melihat ayah bermain bola bersama Althaf dan Elka. Sudah menjadi kakek dan cucu memang. Selama 45 menit kami singgah di Jalan Cilaki dan karena hari sudah beranjak sore, kami segera berpamitan pulang lalu Mbak Rara sekeluarga meneruskan perjalanan ke Yogya. 

Merasa enggan berdiam diri, selepas aku bercerita kini giliran si gadis bunga menceritakan pengalamannya sendiri dilanjutkan oleh si gadis langit. Aku sangat girang dan senang mendengar cerita dari dua gadis ini serta langit senja Aarhus pun menjadi saksi dari ceritaku ini. Ahhh, sungguh menjadi hari yang indah kawan-kawan...

Tertulis, kisah indah seorang guru Bahasa Jerman di masa depan. 

Bandung, 11 Juli 2016
Pukul 09.08 WIB
-Herr Aldi Van Yogya-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi