Seperti bunga fajar (Hari yang cerah bagi jiwa yang risau)

 
sumber gambar: www.luizedussin.com.br

Pagi biar kusendiri, jangan kau mendekat
Wahai matahari
Dingin, tuk hati yang sedih
Tak begitu tenang mulai terabaikan

Hari yang cerah untuk jiwa yang sepi
Begitu terang untuk cinta yang mati
Ah... Kucoba bertahan dan tak bisa

Biru langit kelabuku tak begitu luas seperti memudar
Kini tak terulang lagi di hari yang cerah, 
Dia telah pergi

Hari yang cerah untuk jiwa yang sepi
Ahh... Kucoba bertahan dan tak bisa
Ahh... Kucoba melawan ku lepas
Hari yang cerah untuk jiwa yang sepi
Begitu terang untuk cinta yang mati 

Pagi di pinggir sebuah kota satelit dekat Bandung, Jawa Barat.

Bait-bait fajar yang diambil dari lagu "Hari yang cerah untuk jiwa sepi" milik Peterpan lima tahun sebelum berganti nama menjadi Noah menyerobot dari balik bibirku kepada seisi ruangan kelas tepat satu jam sebelum kegiatan belajar mengajar diawali hari ini. Namun kendati demikian, suasana ruang kelas masih sangat sepi lantaran baru aku seorang diri yang datang sambil berusaha mencari-cari sosok Stevie tak jauh dari sini. Setiap sudut kelas sudah pasti tak bisa menjawab usahaku kali ini begitu juga dengan sudut lain sekolah. Ada beberapa orang murid memang, dan mereka menjawab bila Stevie belum terdeteksi oleh pandangan mata mereka. Maka hanya terima kasih yang kuhaturkan sebelum aku mencari Stevie seorang diri. 

Tetapi sebelum niat mencari Stevie terhunus kuat laksana tiang penyangga bangunan, niat menyingkap kaca jendela kelas hampir saja terlupa dan oleh karena itu, aku menyempatkan diri menyingkap kaca jendela kelas dan aku langsung merasa angin fajar menerpa tubuhku sebagai imbas dari membuka jendela di pagi hari. Pemandangan luar aku tatap dengan seksama mulai dari lalu lalang mobil di jalan raya kota satelit hingga hamparan padang rumput bergoyang bersama sebuah telaga liar yang memang jauh dari upaya pengelolaan oleh manusia tetapi masih tetap bersih terlebih lagi saat disiram oleh sinar mentari.

Aku pun menikmati hamparan pemandangan alam di pagi itu ditambah oleh senandung serdadu burung-burung Manyar yang berkicau ria sampai pandangan mataku tertuju pada seorang gadis 13 tahun yang tengah duduk seorang diri di tengah hamparan rumput bergoyang sambil menghadap ke arah telaga. Tanpa pikir panjang aku segera beranjak dari ruang kelas demi menghampiri Stevie sang murid kesayanganku di tengah rumput-rumput bergoyang.

"Hallo Stevie, guten morgen und was gesachst mit dir jetzt?" (Halo Stevie, selamat pagi dan apa yang terjadi denganmu?) Kalimat dalam Bahasa Jerman tersebut sudah menjadi kalimat pembuka favoritku bila bertemu dengan Stevie dalam perasaan kelabu. Tiga detik aku menembakkan kalimat pembuka pada Stevie, tak ada jawaban apa pun alias paras cantiknya masih belum sudi menoleh padaku dan sekilas aku dapat melihat dirinya tengah murung di bawah sinar matahari. Sebaris kalimat aku tembakkan lagi, tetapi sudah dipotong oleh Stevie sambil ia menjawab "Hallo Herr Aldi, guten morgen. Jetzt ich bin vermisse die langen ferien. Warum wir mussen gehen nach der schule am heute?" (Halo Herr Aldi, selamat pagi. Sekarang aku kangen libur panjang. Kenapa kita harus pergi ke sekolah hari ini?) Bunyi kalimatnya sama dengan jawaban yang pernah terlontar setengah tahun silam yakni berujung dengan pertanyaan balik.

Jawaban itu sudah terdengar sangat klasik di telinga para guru termasuk aku. Dahulu banyak murid-muridku bertanya hal serupa dengan Stevie sedangkan aku hanya bisa tersenyum sebelum menjawab dengan sabar. "Bapak juga ngerasa begitu sejak dulu sekolah sampe sekarang jadi guru, Stevie. Apalagi setelah libur lebaran sampai sebulan itu. Di hari pertama, meskipun belum langsung belajar tapi bapak udah ngerasa kurang senang gara-gara suasana sekolah berubah drastis di hari itu." Mendengar ucapanku tentang hari pertama sekolah, Stevie justru tampak lebih bersemangat  mendengar ceritaku sampai ia meminta diriku bercerita dengan tidak sabar.

Tanpa ditemani buku agenda hitam kesayanganku tempat berangkai-rangkai cerita tertulis, aku segera memutar-balikkan otakku kepada memori di hari pertama masuk sekolah pada akhir Bulan Juli 2016.

Minggu malam tanggal 24 Juli 2016 aku belum juga tertidur nyenyak meski jarum jam telah melewati angka sembilan tanpa tahu apa sebabnya. Tetapi yang jelas hari ini adalah hari terakhir masa reses kenaikan kelas beserta libur lebaranku usai sehari penuh ditinggal ayahku bertemu kangen dengan teman-temannya semasa sekolah dulu. Tak banyak percakapan di jejaring media sosial "Line" malam itu sebelum lampu menjadi remang-remang di rumahku menjelang tengah malam. Karena belum mengantuk, maka pada pukul 22.30 WIB aku duduk seorang diri di ruang keluarga sambil menuliskan bait-bait lagu sajadah panjang dari Noah (sebelumnya dinyanyikan oleh grup musik Bimbo) untuk dikirim sebagai status Line di malam terakhir sepanjang masa resesku.

Sekitar pukul 22.45 WIB, barulah aku tertidur lelap sampai bangun di waktu Subuh. Ketika aku bangun, aku tersadar hari ini sudah bukan lagi masa reses melainkan sudah menjadi hari pertama di tahun ajaran 2016/2017. Beres shalat Subuh seorang diri dan menyeruput segelas kopi panas, aku segera mandi pagi untuk selanjutnya memakai seragam sekolah lengkap dengan persiapan-persiapan materiil lainnya. Pukul 06.45 WIB, barulah aku berangkat ke sekolah seorang diri.

Dalam perjalanan menuju sekolah, aku melihat dengan mata kepala sendiri seorang pemuda yang berseragam SMP mengobrol dengan pedagang surabi di pinggir jalan. Lalu aku menyapanya dengan kata-kata, "Djalu, masuk SMA Mutbun?" "Iya." Lalu kami berdua melangkah bersama-sama sampai ke gerbang sekolah dan berpencar sejurus kemudian. Begitu melewati gerbang sekolah aku menjumpai seorang gadis remaja yang belum lama ini pulang merantau dari Tanah Belgia nun jauh di Eropa sana. Ia mengajakku bicara sambil melambaikan tangan hingga aku menerima perintah untuk berbicara Bahasa Belanda darinya. "Ik ben zeer goed, dank u well." (Kabarku sangat baik, terima kasih.) Tuturku singkat. "Vandaag ik vertrek naar de school." (Hari ini saya berangkat ke sekolah) saat menjelaskan arti kalimat Belandaku pada Rifka, gadis perantau dari Belgia yang aku maksud.

Selanjutnya ia menyuruhku menaruh tas di labkom dan turun lagi agar bisa menyambut para siswa baru. Aku pun menuruti perintah Cici (panggilan akrab Rifka) tetapi saat sampai di bawah aku justru sibuk mencari-cari si gadis bunga. Kemana dia? Mengapa dia belum datang? Aku terus berdiri di halaman lapangan futsal walau tak mematung selama hampir setengah jam. Menjelang pukul 07.30 WIB, barulah si gadis bunga muncul di hadapanku. Dengan cepat aku menyambar langkah di hari pertamanya masuk sekolah sambil telapak tangan terangkat di udara sebagai pertanda minta "tos." Si gadis bunga menuruti permintaanku dan disambut oleh kalimat berbunyi "Euuh Aldi bisa ya" dari Febi tak jauh di belakangku.

Usai ber-tos tangan, aku membiarkan langkah si gadis bunga hingga ke areal belakang sekolah. Di pagi itu aku bertemu dengan Radhia dan Audi, dua orang teman yang saat kelas 11 tahun lalu pergi merantau ke Swiss dan Jerman demi mengikuti program pertukaran pelajar. Tak lama berselang, suasana di aula sudah ramai oleh siswa-siswi baru juga siswa-siswi Kelas 11-12 yang akan menunaikan ibadah Shalat Dhuha sebanyak empat rakaat saat matahari belum naik terlalu tinggi. Begitu beres Shalat Dhuha, pembacaan doa dipimpin oleh Sulthan & Abdih sang komandan waktu Dhuha dilanjut dengan tilawah Surat An-Naba ayat 1-15.

Dalam sambutannya selepas shalat Dhuha, Bu Lala membocorkan sedikit mengenai kegiatan di SMA kepada murid kelas 10 seperti pemilihan jurusan, sistem kakak wali, dan lain sebagainya sebelum kegiatan berlanjut pada persiapan welcoming day untuk esok hari bagi murid kelas 11-12 dan school touring bagi murid kelas 10. Hanya sesaat sebelum acara latihan dimulai, kami para murid kelas 12 IPS sempat berkumpul di sebuah ruangan untuk mendapat pesan khusus dari Bu Nisa, guru Ekonomi yang mulai tahun ini tidak akan mengajar lagi di SMA karena akan merintis karier di daerah Bintaro, Jakarta. Tangis pun pecah ketika mendengar itu, namun tangis bisa pudar dalam sekejap saat pertemuan diakhiri dengan foto selfie.

Susunan panitia dan rangkaian acara welcoming day tidak jauh berbeda dengan wisuda kelas 12 lebih dari dua bulan lalu hanya saja proses inagurasi dalam welcoming day dihapus. Masih sama seperti wisuda, aku didapuk menjadi punggawa dalam tim tari bersama Audia, Miko dan Bowo. Kami berlatih bersama tim penari Merak yang terdiri dari Reyna, Millenia, Sarah dan Kika. Saat latihan sempat terjadi beberapa kali kesalahan sehingga kami harus mengulangi gerakannya dan latihan gabungan baru resmi berakhir pukul 12.15 WIB saat adzan Dzuhur telah selesai berkumandang.

Selepas shalat Dzuhur aku menyantap makan siang di kantin sebelum kembali ke aula agar bisa mengikuti lomba "Rangking Wahid." Ketika di kantin, aku sudah duduk di meja dekat stand makanan Jepang tetapi saat teman-teman perempuanku datang aku berpindah. Walau sudah dibujuk agar duduk di samping si gadis bunga, tetapi aku lebih memilih duduk dekat guru laki-laki sambil mengungkit kebijakan Presiden Joko Widodo. Dalam lomba ini, aku satu kelompok dengan Lulu dan Wega seperti halnya murid lain yang satu kelompok terdiri dari murid kelas 10-11-12. Ada banyak pertanyaan yang diajukan oleh panitia lomba dengan aturan bila menang bisa terus menjawab tetapi bila kalah harus menyingkir alias berhenti berlomba. Sekitar sepuluh pertanyaan berhasil aku jawab, tetapi akhirnya gagal juga. Apa boleh buat, aku harus menyingkir bersama Lulu dan Wega, kedua adik kelasku di SMA.

Tanpa terasa hari pertama masa perkenalan bagi murid kelas 10 telah berakhir pukul 15.00 WIB. Saat murid kelas 10 sudah pulang, kami para murid kelas 11-12 masih berkumpul di aula hingga pukul 15.50 WIB dengan agenda pengumuman kakak wali. Jujur saja, walau sudah diberi bocoran tugas kakak wali oleh Bu Lala, Bu Winda, Pak Solihin dan Pak Iskandar yang kala itu menemani tetapi aku masih belum tahu (atau mungkin lupa) apa definisi kakak wali lengkap dengan sistem beserta aturan sekolah yang konon akan mengalami perubahan di semester ini. Hal tersebut menggelisahkan aku di awal masa belajar kelas 12 dan masih ingin bertanya lebih jauh lagi. Tetapi perubahan sistem belajar dan aturan sekolah baru akan diungkit besok sehingga apa boleh buat, aku terpaksa membuat rasa penasaranku menggantung tanpa ada jawaban pasti di langit senja selepas Shalat Ashar berjamaah tidak lama berselang sebelum aku pulang ke rumah demi menceritakan apa yang terjadi hari ini di sekolah.

Beres bercerita, aku dapat menerjemahkan arti raut wajah Stevie saat ini. Ia seperti terhibur oleh cerita terkait pengalaman hidup guru kesayangannya tetapi ruang bathin gadis berambut panjang ini masih murung karena ia rindu pada masa libur panjangnya serta kekhawatiran akan perubahan drastis dari situasi sekolah seperti apa jawabnya ketika kubertanya di tengah hamparan rumput-rumput bergoyang. Aku memperhatikan waktu demi waktu berlalu, detik demi detik berlalu, menit demi menit berlalu dan jam demi jam berlalu. Raut murung Stevie masih belum bisa berubah menjadi ceria bin energik seperti hari pertama sekolah setengah tahun lalu tepat ketika rintik hujan tiba di sore hari. Aku hanya memberi pengertian sekadarnya pada Stevie sebelum ia pulang ke rumah, persis seperti serdadu burung-burung Manyar yang kembali ke sarang karena dinanti oleh induknya tercinta.

Ahhh, semoga akan ada hari yang cerah bagi jiwa yang risau di lain waktu seperti sang bunga fajar...

Tertulis, kisah indah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan.

Bandung, 25 Juli 2016
Pukul 18.41 WIB.
-Herr Aldi Van Yogya-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi