Sesal dalam sunyi untuk sang pujangga

 
sumber gambar: id.gutbilder.com 

Praha, Ceko, di musim dingin bulan Desember. 


Tatapan seorang guru muda mengarah pada arloji bertali cokelat kopi yang kala itu melingkar di pergelangan tangannya. Sudah menunjukkan pukul 23.00 alias hanya satu jam sisa waktu untuk sampai di tengah malam kala lonceng berdentang-dentang entah dari mana dan milik siapa lonceng itu. Hawa dingin menggerogoti tubuhnya di sebuah halte pemberhentian trem usai kedatangan terakhir kereta jalanan tersebut dan selanjutnya ia akan mengambil rute Ceko-Amsterdam dengan sebuah bus malam. Tetapi kata "lama" menemaniku menanti bus antar negara itu. 

"Herr Aldi, ayo cepat naik!!!" Dari balik pekatnya gelap langit Praha suara seorang gadis menghardik dengan keras agar aku segera naik ke bus di depan. Baru kali ini ada bus antarnegara berhenti di halte trem, ujarku dalam hati sambil setengah mengantuk yang sejurus kemudian disambung oleh perintah bernada sama dari sang supir. "Lets go to Amsterdam. We must be arrived there at six o'clock tomorrow morning!!!" Dengan terpatah-patah sang supir asli Republik Ceko menyuruhku naik diikuti oleh si gadis bunga di belakang. "Yeah, thank you sir." Ujarku sambil menapaki anak tangga bus. Di belakangku si gadis bunga dapatku lihat tengah menggigil kedinginan. 

Begitu aku duduk di kursi terdepan persis di belakang supir yang terpatah-patah berbicara Bahasa Inggris tadi, dengan penuh semangat ia menekan pedal gas demi menembus kegelapan langit Praha. Samar-samar aku melihat gemerlap cahaya lampu jalanan juga bangunan tua Praha mewakili segenap kesunyian malam tanpa ada hiruk-pikuk dentuman klakson mobil seiring dengan tubuh gadis bunga yang masih menggigil di sebelahku. "Kenapa, masih dingin?" Ujarku padanya. "Ya herr, penghangat bus juga enggak begitu kerasa." Ia memeluk dirinya sendiri tanpa peduli aku tak menggigil kedinginan begitu masuk bus yang perlahan-lahan mulai menghilangkan pemandangan Praha dari tatapan mataku. 

Bus terus berjalan tanpa berhenti dan saat melewati daerah yang tidak aku tahu apa namanya, telepon selulerku berdering di balik saku mantel cokelat nan tebal. Mendengar bunyinya aku tahu bunyi itu adalah peringatan kehadiran pesan singkat dalam aplikasi Whatsapp lalu begitu aku membukanya, ternyata pesan singkat tersebut berasal dari Ariq. "Di, kira-kira nyampe Amsterdam jam berapa? Terus sekarang dimana?" Tanpa mengajak siapapun bersilat lidah aku membalas pesan singkat Ariq tadi, "Masih di Ceko, tapi enggak tau di daerah mana terus yang jelas sih udah jauh dari Praha. Kata supir busnya jam 6 udah sampe Amsterdam." "Hmmm, ya udah aku tunggu di Polderbaan ya." 

Percakapan aku tutup dan selanjutnya berganti dengan buku agenda hitamku. Enam lembar halamannya sudah aku penuhi dengan coretan mengenai kegiatan di Praha tiga hari belakangan ini. Tetapi lima lembar di depannya sudah penuh oleh tulisan terkait masa libur lebaranku saat SMA dulu lalu hal ini yang kemudian menarik perhatian si gadis bunga. Lalu aku segera bercerita tentang penggalan masa libur lebaranku pada si gadis bunga ketika bus sudah akan melewati perbatasan Ceko-Jerman demi mencapai Kota Dresden. 

Isti'mal, demikian bunyi pepatah Arab yang berasal dari lisan Menteri Agama Lukman Hakim Syaifudin kala sidang isbat 1 Syawal 1437 H baru selesai dilaksanakan secara tertutup. Tanggal 29 Ramadhan 1437 H pengamatan hilal dilakukan di beberapa daerah dengan hasil Aceh dan Sumatera Barat melihat hilal, sedangkan yang lainnya tidak. Maka oleh karena itu, puasa Ramadhan 1437 H diisti'malkan atau disempurnakan selama 30 hari hingga tanggal 5 Juli 2016 (30 Ramadhan 1437 H). Lalu aku berpuasa di satu hari terakhir dan keesokan harinya kala fajar 1 Syawal 1437 H shalat Ied dilaksanakan di Lapangan Tenis Puri Dago, Arcamanik, Bandung, Jawa Barat. 

Beres Shalat Ied, safari lebaran dimulai dengan Kopo sebagai tujuan utama sebelum dilanjutkan ke Cimahi. Satu hari sudah cukup untuk mendatangi dua tempat dan aku baru pulang saat senja 1 Syawal menyapa. Hari kedua, safari berlanjut ke wilayah Sadangserang dan Bioskop 21 Cihampelas Walk. Di bioskop tersebut aku melihat Film Rudy Habibie yang mengisahkan masa muda Presiden RI ke-3 BJ. Habibie saat belajar di Aachen, Jerman. Mungkin film ini bisa membangkitkan memori masa kecil Stevie sang murid kesayanganku saat ia tinggal di Jerman dulu hingga ia fasih berbicara Bahasa Jerman. Begitulah ucapan dalam batinku. Jelas si gadis bunga tak mendengar karena ia tengah tertidur pulas. 

Puas menonton Film Rudy Habibie, Hari Jumat kuhabiskan tuk beristirahat di rumah. Kolam renang aku sambangi di Hari Sabtu tidak lupa dengan Cafe Dakken di Jalan Riau lengkap dengan rumah teman sebangku ayahku nun jauh di Panyileukan sana, dekat dengan Gedebage. 

Kendati demikian, sejatinya ceritaku masih belum lengkap pula sebab di hari Minggu aku baru akan menyambangi rumah kerabatku di Sariwangi sana. Tetapi tak apalah, cerita ini masih bisa kulengkapi lagi nanti ^_^ ^_^ ^_^ 

Aku pun tertidur pulas hinga bus melewati pemandangan malam Kota Düsseldorf serta perbatasan Jerman-Belanda. "Bangun, bangun, siap-siap bentar lagi nyampe di Polderbaan." Tuturku saat berusaha membangunkan si gadis bunga usai Shalat Subuh dengan susah payah di barisan kursi belakang. Lalu si gadis bunga terjaga dari tidur sambil mengucek-ucek kedua matanya dan aku melambaikan tangan pada Ariq begitu turun dari bus. Di antara desingan pesawat, aku sadar Ariq tidak datang sendiri melainkan ia datang bersama Abang, Akbar, Maureen dan Ragil. Kala itu Abang dan Ragil tengah asyik memotret sekaligus merekam lalu-lalang pesawat terbang di Polderbaan, sebuah landasan milik Bandara Schiphol. Ketika kutanya dimana Maureen, Akbar menjawab jika gadis berambut panjang itu masih tertidur di dalam mobil. Sayup-sayup aku melihat Maureen tengah tidur di jok belakang sambil mengapitkan kedua tangan di antara paha kanan-kirinya. 

Hari kembali berlanjut kala matahari mulai membirukan langit walau masih ada sedikit rasa sesal dalam hatiku karena tak banyak menulis sejak awal musim libur lebaran. Namun aku membiarkan sesal dalam sunyi itu segera pergi ditelan angin, karena aku hanyalah seorang pujangga muda yang turut mengajarkan makna-makna indah kehidupan pada muridku tercinta. 

Tertulis, kisah indah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan. 

Bandung, 10 Juli 2016
Pukul 09.46 WIB. 
-Herr Aldi Van Yogya- 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi