Pagi untuk manusia berjiwa sabar

 
Sumber gambar: wallpaperhdbase.com

Fajar menyingsing seiring dengan tersingkapnya berlembar-lembar halaman dari sebuah buku agenda hitam milik seorang guru muda di tengah hamparan rumput-rumput bergoyang hari ini. Ingatannya melayang pada sepenggal pagi saat sang guru muda masih terhitung menjalani masa remajanya, tepat saat ia jatuh cinta dengan seorang gadis belia di bangku sekolah menengah atas. Sesekali angannya terbang melayang pada garis wajah si gadis bunga bersamaan dengan hadirnya manusia-manusia berjiwa sabar sebagai guru abadi selama nafas dihembuskan di muka Bumi. 

Tempat sekeliling aku lirik dengan hasil tiada seorang pun di sana termasuk Stevie sekalipun. Tumben dia tidak hadir di sini, batinku seorang diri. Ah, sudahlah biarkan ia menikmati fajarnya seorang diri dengan bebas kemudian aku terduduk sambil membaca coretan di buku agenda. Baju batik hijauku seperti tersapu oleh angin sedangkan celana serta sepatu hitam kubiarkan menyentuh tanah berselimut rumput. Buku agenda aku singkap dengan jemari, melahap habis seluruh isi cerita yang menjadi guru tentang makna kehidupan. 

Minggu pagi di penghujung Bulan Juli 2016, tombol "ON" pada komputer telah ditindas oleh jemariku agar setelahnya ia meraung-raung sendiri di saat serdadu jangkrik masih lantang bersahut-sahutan riang, mengalahkan kumandang Adzan Subuh selama empat-lima menit. Situs blog aku buka walau tak menulis sepatah katapun tetapi hanya membaca tulisan-tulisanku terdahulu. Facebook tak luput dari terkaman mataku juga lagu-lagu indah milik Noah yang menusuk daun telingaku di pagi hari kala ayam berkokok menyambut hadirnya senyuman fajar.

Hanya satu jam aku menikmati itu, memang. Pukul 07.00 WIB aku pergi meninggalkan rumah bersama ibu dan adik perempuanku demi meneguk semangkuk santap pagi berupa Bubur ayam yang dijajakan oleh pedagang tidak jauh dari rumah. Pembeli yang hadir hari Minggu itu cukup banyak karena sekarang sedang libur. Tiga porsi bubur dipesan dan diantar hanya beberapa menit berselang agar bisa disantap demi mengecilkan volume musik keroncong di relung lambung. Ketika hendak pulang, aku melihat salah seorang dari tim penjual bubur menghitung jumlah harga dengan cepat tanpa dibantu oleh kalkulator. Hebat bukan? Tetapi melihat kecepatan si penjual bubur, aku merasa seperti disindir mengapa selalu merasa sulit menghadapi hitungan padahal pendidikanku sudah cukup tinggi. Entah seberapa tinggi pendidikan para penjual bubur langgananku. Namun untuk urusan menghitung uang, otak mereka sudah diatur sedemikian canggih. 

Obsesiku pada jurusan Pendidikan Bahasa Jerman di UPI masih membuncah dengan sangat hebat sambil membawa ekspektasi akan kehadiran Stevie dalam hidupku. Bayang-bayang kehadiran Stevie memang berstatus sebagai penyemangatku menyambar mimpi, tetapi ekspektasi itu masih dibubuhi tanda tanya sampai sekarang. Akankah hal tersebut terjadi? Akankah Stevie hadir sebagai murid kesayanganku sepanjang hayat seperti yang telah kutuliskan dalam cerita-cerita sebelumnya? Tidak tahu. Allah SWT adalah yang mengatur segalanya. Ia akan menjawab semua ekspektasiku nanti di hari lain sementara aku hanya perlu menanti dengan sabar dalam segala daya upaya. Semoga ekspektasiku lahir dengan jawaban terbaik. 

Lupakan ekspektasi tentang Stevie, kini pikiranku berlari kalang kabut tanpa petunjuk arah yang jelas. Sesekali memikirkan si gadis bunga yang pada filosofinya belum tentu menjadi pasangan hidupku dalam kehidupan baru yang akan kutempuh setelah menikah nanti. Sesekali terpikir pula tentang bayang-bayang profesi pilot sesuai dengan mimpiku semasa kecil dahulu. Walau sudah merajut mimpi menjadi guru, tetapi dalam angan masih acap terbayang saat aku remaja. Aku membayangkan diriku pergi terbang dengan sebuah pesawat Airbus A380-800 bersama si gadis bunga sang ko-pilot/first officer serta si gadis cahaya langit sang second officer ke Eropa sana hingga aku tersenyum-senyum sendiri. 

"Apapun yang terjadi di langit itu sudah kehendak Tuhan sedangkan semua yang kami cintai, senangi dan sukai telah kami tinggalkan di ujung landasan." - Kapten Pilot -
"Kamu saja bisa tenang naik pesawat tanpa pernah mengenal siapa pilotnya. Tetapi kenapa kamu masih merasakan resah padahal sudah tahu hidup diatur oleh Allah SWT." - Tuan Pujangga sekaligus yang mulia Tuan Guru -

Kisahku kini keluar dari ekspektasi dan dilanjutkan dengan kunjungan ke lapak Tukang Kupat Tahu. Antrian pagi memang bisa dibilang sudah mengular karena terjadi di hari Minggu pula, tak ada bedanya dengan Tukang Bubur.  Dengan sabar aku menunggu pesanan yang sejatinya diperuntukkan bagi ayahku di rumah saat ibu dan adikku berbelanja sedikit di minimarket tak jauh dari lapak tukang Kupat Tahu. Seperti pemandangan sebelumnya, aku melihat salah satu dari tiga penjual Kupat tahu dititipi kekurangan fisik dengan maksud jempol tangan kanannya tidak bisa bergerak sama sekali layaknya orang-orang normal, padahal ia tak berlengan buntung. 

Tetapi fisik seolah tak dipedulikan oleh pria berkaca mata tersebut. Malah ia membungkus pesanan para pembeli dengan begitu cepat termasuk pesananku yang sepertinya dibantu oleh pedagang lain pula. Begitu beres, aku segera menghampiri ibuku sebelum pulang ke rumah. Di sepanjang perjalanan pulang, aku berpikir kedua pedagang tersebut dilahirkan dengan jiwa sabar yang sangat kuat. Saatku berkeluh-kesah tentang kesulitan pelajaran Matematika, tukang bubur justru menghitung jumlah harga keseluruhan para pembelinya dengan sangat cepat laksana kereta ekspres. Saatku berkeluh-kesang seorang diri karena lelah menulis sambil belajar, tukang kupat tahu justru mengemasi pesanan pembelinya dengan cepat. 

Dimana jiwa sabarku selama ini? Sudahkah aku menuruti ucapan sang jiwa sabar? 

Di lain sisi para figur-figur ternama pun hadir dalam hati demi membentuk jiwa sabarku seutuhnya. Tak lain tak bukan mereka adalah Presiden Joko Widodo, kepala negara kesayanganku selama tiga tahun belakangan ini semenjak beliau masih dipercaya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Beliau adalah panutan bagi banyak orang karena jiwa sabarnya yang begitu kuat dalam menghadapi bermacam-macam dinamika kehidupan. Hal ini yang sangat patut aku tiru dari Jokowi selain keunikan gaya penampilannya selama ini. 

Seolah ingin menemani Jokowi, Noah tak ketinggalan menguatkan jiwa sabarku pagi ini. Diawali dengan pertemanan anak-anak muda, Noah berangkat menuju popularitas di kancah industri musik tanah air dengan nama Peterpan hingga mereka memutuskan vakum pada titik terendah sepanjang hidupnya selama dua tahun. Kemudian dalam kurun waktu yang singkat, mereka mencoba kembali bangkit dengan sepenggal nama baru sebagai pertanda mereka telah siap meramaikan kancah industri musik. Hal tersebut terbukti benar, meski di tengah perjalanan mereka harus kembali mengalami perubahan yang dihadapi dengan jiwa sabar sepenuh hati, seteguh keimanan berdiri kokoh, tentunya. 

Buku agenda ini telah aku tutup kala Matahari sudah naik semakin tinggi di atas benakku. Hampir lupa dengan titah jiwa sabarku, aku cepat-cepat menoleh pada sekeliling demi mencari Stevie dan sayang dia tak hadir sambil membawa alasan seperti ingin lebih mengukuhkan jiwa sabarku pagi ini. Semoga Allah SWT selalu menuntun jiwa sabarku setiap hari dalam hidayah, rahmat dan Pertolongan-Nya di dunia maupun di akhirat. Amin YRA.

Tertulis, kisah indah milik jiwa sabar seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan. 

Bandung, 31 Juli 2016
Pukul 09.50 WIB. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi