Dilema hujan

 
sumber gambar: quotesgram.com

Bila melahap habis seluruh isi kalender, sejatinya aku masih memiliki waktu selama lima hari lagi dalam masa reses terlamaku sepanjang perjalanan hidup belasan tahun terakhir ini. Kala mengawali masa reses, tersirat dalam benakku ini akan menjadi sebuah masa yang indah. Ya, kuakui itu memang benar. Namun masa yang indah hanya berlaku selama setengah perjalanan masa reses sedangkan setengah perjalanannya lagi tak seindah setengah perjalanan pertama kemarin. Berkali-kali dan untuk yang kesekian kalinya, dilema hinggap silih berganti dalam benakku. 

Hari kemarin seperti telah ditakdirkan menjadi awal baru dari sebuah cerita sesuai apa yang diutarakan oleh sebuah quotes berbahasa Inggris; yesterday is an history, today is a gift and tomorrow is a mystery. Aku merasa penggalan kata mutiara tersebut ada benarnya hingga saat ini, ketika aku telah bekerja sebagai seorang Guru Bahasa Jerman dan karena masih berada dalam kepungan dilema, sangat sulit rasanya menghadirkan Stevie untuk kesekian kalinya. Sesekali, Stevie sudah aku coba tuk dihadirkan dalam lembaran ceritaku tapi apa daya, aku hanya bisa berupaya semaksimal mungkin sebab sang pencipta-lah yang akan memberi hasilnya. 

Andai aku melihat keluar jendela, guyuran hujan masih belum mau berhenti menari-nari seperi jemari demi menghasilkan nada merambat pelan kala rintik hujan tiba. Biasanya, udara kota Yogyakarta tempat aku duduk hari ini terasa sangat panas dan terik (tak ada bedanya dengan ibukota Jakarta) hingga membuatku risih walau hanya sesekali. Butir-butir peluh mengucur deras dari ujung rambut yang sejurus kemudian disapu habis oleh punggung atau sesekali oleh telapak tangan. Tetapi hujan begitu bersemangat menyerang tanah tempat Sultan Hamengkubawono X bertakhta selama hampir tiga dasawarsa lalu hawa panas si penguasa dominan udara Yogya menghilang bagai ditelan rintik hujan. Memang telah ditelan rintik hujan, Herr Aldi. Kalimat terakhir seperti keluar dari balik bibir Stevie di telingaku. 

Lupakan kemana udara panas pergi saat ini, tak perlu bahas perjalanan karier Sultan Hamengkubawono dan cobalah membuka sebingkai cermin dalam ruang bathin. Cermin kehidupan hanya satu-satunya cermin yang abadi selamanya dan aku mencoba melihat lagi film perjalanan masa resesku selama satu bulan (sejatinya kisah ini ditulis saat masa reses belum genap sebulan berlangsung). 

Aku memang sudah pernah menuliskannya di sini tiga minggu silam, tetapi tak apalah. Aku memang memiliki keinginan me-refresh kenangan-kenangan masa resesku secara keseluruhan. 

Hari itu, Rabu, 22 Juni 2016. "Ritual wajib akhir tahun" berupa pembagian rapor sebelum kenaikan kelas telah selesai dilaksanakan berbarengan dengan PTI alias acara tatap muka antara orang tua murid dengan guru. Tempat terakhir yang aku datangi sesaat usai pembagian rapor adalah Masjid Al-Huda tak jauh dari rumahku di Antapani. Kala itu aku termasuk orang beruntung sebab jumlah jamaah yang datang ke masjid terbilang banyak sampai mereka harus membentuk tiga shaf dalam satu masjid. Iqomah beres berkumandang, shalat Dzuhur berjamaahpun dimulai saat itu juga. Alhamdulillah, aku dapat shalat dengan rakaat yang lengkap hari itu. 

Pulang dari masjid, berkali-kali telepon seluler berdenting ria dengan alasan menelurkan pertanda pesan singkat masuk melalui aplikasi Line atau di grup angkatan, lebih spesifiknya. Kala itu kami tengah berdiskusi hangat mengenai tempat berbuka puasa bagi orang se-angkatan sebelum masa reses dimulai. Semula, kami ingin berbuka puasa di sebuah restoran seafood di BIP. Tetapi entah kenapa, kejelasan tempat selalu berubah-ubah hingga sore hari. Kemudian seolah bisa membaca raut perasaanku di hati dan garis wajah, si gadis bunga segera meluncurkan amunisinya kepadaku. 

"Aldi, kamu udah tau belum kita jadinya di BEC lagi?"

"Udah, bentar lagi berangkat."

"Ooh oke."

"Kita lagi pada ngumpul di Richeese." 

Dengan taksi aku berangkat menuju BEC diantar oleh ibuku pula tetapi hanya sampai Gramedia. Di sana aku membeli buku novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi sebagai pengganti buku serupa yang sudah rusak di rumah. Harganya tertera Rp.80.000,00 yang membuatku bimbang sekilas. Mau beli atau enggak? Kebimbangan senja menggelayutiku kala itu sambil mempertimbangkan cukup atau tidak jumlah uang dalam dompetku karena khawatir akan kurang untuk buka puasa nanti. Kendati demikian, aku tetap mengambil keputusan dengan membeli buku Ranah 3 Warna. 

Hanya sekitar 10-15 menit menyelami lautan buku di toko Gramedia, aku segera meluncur dekat ke BEC. Aku berusaha mencari Richeese seperti yang dikatakan oleh si gadis bunga. Berkali-kali mencari, tetapi tidak ketemu hingga seorang petugas pusat perbelanjaan aku tanyai. Ia memberi arah petunjuk kepadaku dan aku menurutinya hingga melewati area foodcourt dan menemukan Richeese namun belum melihat si gadis bunga bersama kawan-kawan satu perjalanan. Ku coba untuk keluar dari area food court dan akhirnya aku melihat sekelompok anak-anak muda yang sedang asyik duduk. Bagai bunga baru memekar, si gadis bunga berdiri dan melambaikan tangan padaku. Tentu aku balas lambaian tangannya sebelum duduk. 

Kala aku duduk sambil menunjukkan buku Ranah 3 Warna milikku lengkap dengan guyonan senja, buku tersebut langsung menjadi pusat perhatian, Rani, Akbar dan tentu si gadis bunga. Akbar dengan niat usilnya mencoba menjauhkan buku itu setiap kali tanganku hendak meraihnya. Lalu pikiranku langsung buncah tatkala kami berbicara tentang kartu tanda penduduk alias KTP. Tiga orang temanku di depan yakni Ragil, Akbar dan si gadis bunga telah memiliki KTP. Si gadis bunga kala itu menunjukkan KTP miliknya kepada kami. Saat dipinjam oleh Akbar, aku berkeinginan melihat KTP si gadis bunga namun lelaki berkaca mata tersebut justru memberikan yang miliknya sendiri. 

Usai melewati sebuah "negosiasi" kecil, akhirnya aku melihat KTP milik si gadis bunga yang mencantumkan foto dirinya tanpa kerudung alias rambut pendek seleher dengan terbuka. Identitas dirinya tak perlu aku sebutkan secara spesifik demi kenyamanan si gadis bunga pula namun yang jelas, saatku membahas identitas si gadis bunga di KTP banyak guyonan-guyonan bin lelucon terucap. Ah, sungguh hari yang cerah bukan? 

Seporsi makanan telah kulahap begitu Adzan Maghrib berkumandang dan selesai makan, aku langsung shalat Maghrib berjamaah di mushola mall secara bergantian dengan si gadis bunga untuk selanjutnya kembali ke pintu masuk mall agar bisa dijemput oleh ibu. Dalam perjalanan pulang sambil menyempatkan diri melayat ke rumah teman ibu yang kebetulan ibunya meninggal dunia di hari itu, pikiranku berjalan tak tentu arah tanpa tahu memikirkan apa. Kadang terpikirkan sosok si gadis bunga, kadang terpikir pula keindahan perjalanan masa SMA. Seperti sebuah dilema di kesunyian malam. 

Acara buka puasa bersama beres, maka pada minggu berikutnya datang sebuah surat di penghujung bulan Juni dari Bu Yeye yang kala itu akan segera pindah ke Cirebon bersama keluarganya. Aku masih ingat beliau tak banyak berkata melainkan ia hanya menitipkan pesan-pesan motivasi kepadaku terkait hal-hal yang nanti akan dihadapi di kelas 12. Hampir setengah perjalanan masa reses, sebuah berita duka tersiar kepada teman-teman juga kakak dan adik kelas di sekolah. BUKAN UNTUK MENGOREK LUKA LAMA, tetapi masih jelas terlihat dalam ingatanku, hari itu Jumat pertama di Bulan Juli. Seorang temanku hari itu baru kehilangan sang ayahanda tercinta karena penyakit yang diderita selama setengah tahun belakangan ini dan saat pengobatan terakhir, tubuhnya tak lagi kuat menahan penyakit sehingga ia harus menghembuskan nafas terakhirnya. 

Maka oleh karena itu, aku datang melayat ke rumah keluarganya di daerah Buah Batu keesokan harinya bersama ibu. Banyak pelayat datang, tetapi tak banyak dari mereka yang aku kenal. Hal serupa terjadi hanya tiga hari berselang namun dengan lokasi yang berbeda. Libur terus berlanjut hingga tiba Hari Lebaran dan di hari-hari libur setelah lebaran, Film Rudy Habibie sudah kutonton dari awal sampai akhir begitu juga dengan Finding Dory

Hujan hingga kini masih bersemangat mengguyur Kota Yogya seiring dengan lamunanku seorang diri lengkap bersama sejumput titik dilema tentang masa reses di bawah hujan. Dilema telah kucoba mencari apa jawaban terbaiknya, namun hingga kini jawaban itu tiada dengan arti dilema hujan tetap kubiarkan menggantung tanpa akhir di tempat ini ^_^ ^_^ ^_^ 

Tertulis, kisah indah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan.


Bandung, 20 Juli 2016
Pukul 07.45 WIB.





Sumber gambar: onehdwallpaper.com 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi