Mencapai titik terendah (?)

 
sumber gambar: wallpaperwidehd.blogspot.

Rotterdam, Belanda, di pertengahan musim dingin bulan Desember.

Tubuh yang sudah kubenamkan dalam dekapan mantel musim dingin rupanya masih dapat ditembus oleh tiupan angin sore tak jauh dari tepi Pelabuhan Rotterdam, Belanda. Aku menatap seluruh pemandangan di luar sana, sama sejak tadi: Lalu lalang makhluk kaukasoid dengan kepala pirang, tubuh tinggi menjulang dan kulit putih di pinggir jalanan kota yang didampingi oleh hiruk-pikuk klakson mobil lengkap dengan hilir-mudik trem listrik si kereta penguasa jalanan. Di sebelahku seorang gadis belia tengah sibuk memencet-mencet layar telepon selulernya tanpa peduli hembusan angin senja namun sesekali, jemari lengannya berusaha membetulkan posisi kupluk abu-abu di benaknya agar tidak terjamah oleh kegarangan angin. 

Cerita tak sampai di situ, kawan. Aku sudah jelas tidak sendiri, tidak hanya berdua pula. Namun kali ini aku datang ditemani empat pemuda dan satu orang gadis lain, si gadis bunga sudah tentu. Dengan jumlah kurang dari 10 orang kami melangkah demi menyusuri keindahan Kota Rotterdam di kala senja memberi rangkulan hangat pada penghuninya sebagai saat yang tepat tuk bercerita. Ya, aku memang sudah ingin bercerita sejak siang tadi tetapi apa boleh buat, siang tadi aku sengaja berpencar dengan enam kawanku ini sehingga aku mengharuskan diriku "puasa" bercerita selama setengah hari. 

Tumben dia jalan duluan. Biasanya di belakang. Eh, tapi btw dia nyari apa sih? Kenapa bin ada apa? Kurang dari semenit aku melihat kepala Maureen si gadis berkupluk mendongak-dongak tidak tentu arah berupaya menyusul ketinggian tubuh para makhluk Kaukasoid. Ia terus mencari dan mencari hingga ia menemukan sebuah titik yang kosong serta jauh dari sentuhan tangan orang-orang. Dia berhenti sejenak lalu mengajak kami berenam untuk duduk di sana. Bila memandang lebih jauh, view di depan titik itu adalah laut bermandikan cahaya senja. Tanpa sempat berembuk kami pun mengangguk setuju lalu duduk-duduk santai di sana. 

Usai aku perhatikan dengan seksama, rupanya titik tempatku berkumpul bersama kawan-kawanku ini adalah sebuah dermaga bekas yang sudah lama tidak terpakai. Jaraknya dari daratan sangat pendek, hanya 13 meter sementara di ujungnya sebuah bangunan tempat penumpang naik-turun kapal masih berdiri kokoh walau tak berpenghuni sama sekali. Sejenak aku membiarkan angin senja menyapu garis wajahku dan si gadis bunga juga lima pemuda di sebelahnya. Lalu Ariq memintaku bercerita tanpa kehadiran Stevie si murid kesayanganku untuk yang kesekian kalinya. Lagi-lagi tanpa Stevie. Hardikku dalam hati. 

Namun aku dapat menerjemahkan rasa tidak sabar dari raut garis wajah mereka sebagai pertanda aku harus segera bercerita. 

Arus balik dan "Brexit" alias Brebes Exit, merupakan dua istilah yang tengah populer saat arus balik mudik lebaran tahun 2016 bertepatan dengan sebagian perjalanan masa remajaku dulu. Arus balik seyogyanya sudah populer sejak lama termasuk sejak aku kecil. Sedangkan "Brexit," kita perlu mengamalkan ilmu konotasi-denotasi. Brexit sendiri sejatinya berasal dari ranah Eropa nun jauh di ufuk barat sana hingga belasan ribu kilometer jaraknya dan berdengung lantang agar Inggris tanah tempat Ratu Elizabeth bertakhta segera memisahkan diri dari Uni Eropa. Seusai bertarung, kelompok "Brexit" memenangi pemilihan dan secara resmi Inggris mengucap selamat tinggal pada Uni Eropa. 

Lain hal dengan Indonesia. Negeri kepulauan terbesar di dunia ini justru mengamalkan ilmu konotasi dan berbeda jauh dengan Inggris si pengamal denotasi. Menjelang arus mudik, pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo & Wakil Presiden Jusuf Kalla meresmikan proyek Jalan tol Brebes Timur sebagai bagian dari program prioritas pemerintahan beliau berdua juga persiapan arus mudik lebaran. Pita penghalang digunting, Jalan tol Brexit diserbu oleh para pemudik hingga membuat kemacetan parah selama puluhan jam. Lantas ada apa dengan tol Brexit? Mengapa bisa macet separah ini? Publik bertanya-tanya. 

Bagiku secara pribadi, aku mencoba memandang dari segi ajaran Islam terkait puasa. Di bulan puasa, umat Islam memang diajarkan tuk lebih bersabar sekaligus menahan hawa nafsu. Tetapi di malam lailatul qadar selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan atau paling lama dua minggu terakhir, umat Muslim tanah air justru berlomba-lomba mudik demi mencapai kampung halamannya nun jauh dari perantauan. Mereka pergi meninggalkan rumah menembus jalanan dan dikepung oleh kemacetan parah. Hal itu secara tak langsung terjadi di Tol Brexit beberapa hari sebelum Idul fitri. (PENTING! BUKAN MENYALAHKAN, MENYUDUTKAN ATAU MENDISKREDITKAN KAUM MUSLIMIN, TETAPI INI BERKACA PADA REALITA YANG TERJADI DI LAPANGAN). Maka pantas saja bila aku mengatakan itu pada kawan-kawanku di Eropa. Idul fitri tiba, gema takbir berkumandang di segala penjuru dilanjutkan dengan Shalat Ied berjamaah dan sesuai tradisi orang Indonesia, ketupat yang bersahabat dengan opor adalah menu wajib di hari raya. Aku sudah tentu melakukan itu semua bersama keluarga di rumah. 

Ajaran Islam memerintahkan umatnya tuk saling bermaaf-maafan ketika hari raya tiba kendati masih banyak orang yang berani mencibir bahkan menghujat habis-habisan Presiden Jokowi di media sosial terkait masalah kemacetan di tol Brebes Timur. Mereka menyebut Presiden Jokowi gagal membangun infrastruktur, tak peduli dengan penderitaan rakyat, dan lain sebagainya. Aku tak banyak bicara menghadapi serangan para haters alias pembenci mantan Walikota Solo ini. Justru aku memandang hal ini adalah bagian dari perjalanan demokrasi tanah air dengan ajaran berbunyi "JUJUR-ADIL-BEBAS," jauh dari mental demokrasi kala Indonesia masih berada di bawah rezim pemerintahan orde baru dengan Presiden Soeharto. 

Tiga dekade sang kepala negara bergelar "jenderal tersenyum" itu berkuasa, tiga dekade pula demokrasi dibungkam. Tiada pemilu langsung oleh rakyat, tiada kebebasan mengkritik sampai menentang kebijakan pemerintah. Andai ada yang berani melakukan itu, maka akibatnya adalah penangkapan oleh pihak berwajib untuk selanjutnya dipenjara atau bahkan kemungkinan terburuknya adalah hilang selama-lamanya. Lalu aku berkata pada enam pemuda di sampingku bila Jalan tol Brebes Timur dibangun di era Orde baru lalu terjadi kemacetan parah dan ada satu saja yang menghujat Presiden Soeharto (mungkin bila saat itu sudah ada media sosial) pula, maka akibatnya adalah seperti yang telah dituliskan di atas tadi. Aku berpikir seperti ini tepat seusai lebaran kala melihat hujatan kepada Presiden Jokowi. Malah, aku pula berpikir mengapa seusai lebaran kita kembali menggalang dosa? Bukannya bermaaf-maafan? Mengkritik silahkan saja, tetapi tolong kebebasan jangan jadi kebablasan. Atau, lebih baik kita saling bermuhasabah diri bersama-sama. Pemerintah bermuhasabah, maka rakyat harus bermuhasabah pula. 

Di lain sisi, aku pernah membaca kebiasaan Presiden Jokowi mengutak-atik media sosial. Semua komentar publik terkait kebijakannya ia baca dengan seksama, baik lovers atau haters. Ia menjadikan semua itu sebagai bahan masukan untuk dirinya sendiri sekaligus hiburan belaka. Beliau sendiri tenang-tenang saja melihat itu semua, berbeda jauh dengan rakyatnya yang justru acap kali ribut-ribut sendiri kala pemerintah menelurkan kebijakan. 

Beres bercerita tentang Presiden Jokowi, Tol Brexit dan arus balik, kini aku bercerita tentang isi pikiran lain. Bagiku, bulan Juni-Juli 2016 menjadi masa kegoyahan sekaligus pencapaianku hingga titik terendah (?) dalam hidupku. Mengapa? Sebab di masa itu aku tengah memikirkan minatku berkuliah di jurusan pendidikan Bahasa Jerman UPI namun di sisi lain aku berpikir tentang libur akhir tahun yang hanya terjadi di tanggal merah, Hal tersebut mendorongku pada rasa bimbang. Siapkah aku menghadapinya? Bisakah? 

Pertanyaan tadi aku biarkan menggantung tanpa jawaban. Kini aku merasa titik terendah sepanjang hidupku adalah masa libur lebaran selama satu bulan yang terus berjalan hingga menyisakan waktu dua minggu sebelum masuk sekolah. Tak terbayang dalam benak apa yang akan terjadi di kelas 12 nanti. Niatku menulis novel tentang perjalanan masa SMA pun secara tiba-tiba mengendor tanpa kuketahui apa sebabnya. BUKAN SOMBONG, Tetapi bila menimbang-nimbang, aku justru termasuk yang paling enak dibanding orang lain dalam urusan libur. Kenapa? Sebab aku yang mengalami libur terlama selama sebulan. Di saat pegawai kantor sudah masuk setelah libur lebaran seminggu, aku masih libur. Di saat sekolah lain sudah masuk seminggu setelah pegawai kantor, aku masih libur juga. Libur satu bulan penuh, lalu kemungkinan belum langsung belajar pula di hari pertama. Mau minta apa lagi? 

Kemudian, bagaimana dengan novelku? Ah, sudahlah. Nanti saja ditulis sebab masih banyak waktu yang aku punya untuk melengkapi isi novelku tentang keindahan perjalanan masa SMA. 

Alhamdulillah, cerita tentang pencapaianku pada titik terendah telah berhasil aku selesaikan di bawah rangkulan langit senja Kota Rotterdam. Alam pun begitu bersahabat dengan ceritaku pada enam kawan-kawanku yang juga tak pernah lupa memberi semangat-dorongan-motivasi padaku. Setelah menimbang-nimbang dan berpikir lebih jauh lagi, rupanya ceritaku tadi bukanlah pencapaian pada titik terendah sebab dibalik kesulitan pasti akan ada kemudahan dan keindahan serta kenikmatan adalah hadiah terindah dari Allah SWT pada jiwa-jiwa makhluk yang gigih, sabar dan bersemangat melangkahi jalannya masing-masing. 

Man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh dia akan berhasil,
Man shabara zhafira, siapa yang bersabar dia akan beruntung,
Man sara ala darbi washala, siapa yang berjalan di jalurnya akan sampai pada tujuannya masing-masing. 

Tertulis, kisah indah seorang guru Bahasa Jerman di masa depan.

Bandung, 12 Juli 2016
Pukul 06.25 WIB
-Herr Aldi Van Yogya-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi