Pertanyakan ekspektasi

sumber gambar: www.eharmony.com

"Pertanyakan kenyataan" memang sudah terlebih dahulu dicetuskan oleh Agan Harahap, seorang editor foto asal Indonesia yang barangkali atau memang nama itu masih terdengar asing di telinga sebagian orang. Jujur saja, aku mengetahui nama Agan Harahap dengan kata mutiaranya dari sebuah iklan rokok yang terpampang di salah satu persimpangan jalan tetapi sekiranya, kenyataan kadang patut kita pertanyakan seperti halnya membawa sebuah ekspektasi dalam jalan pikiran masing-masing. 

Tanpa terasa oleh pikiran, sudah lebih dari setengah tahun aku menulis di blog ini dalam angan-angan untuk menjadi seorang Guru Bahasa Jerman dengan ekspektasi mengajar bahasa Negeri Panser kepada murid-murid usia remaja termasuk kepada Stevie. Banyak cerita terkait Stevie yang aku tulis di blog ini sebagai penyemangatku untuk selalu mengejar mimpi sebagai seorang guru muda dengan isi berupa bayang-bayang aktivitas di sekolah atau terkadang pengalamanku sendiri yang aku ceritakan pada Stevie. Ah, sungguh indah membayangkan saat-saat bersama Stevie dalam tulisan indah sambil berharap itu menjadi sebuah kenyataan. 

Waktu demi waktu pun berlalu, mimpiku masih terus menguat sampai bertemu titik terendahnya di awal Bulan Juni 2016. Aku sempat meragukan ekspektasiku selama sekitar dua tahun belakangan ini karena iseng mencoba melihat kebijakan universitas tempatku berkuliah nanti. Tapi hal tersebut justru terlihat aneh bagiku sebab rata-rata orang mendaftar ke universitas agar bisa berkuliah berdasarkan minat-bakat-kemampuannya sendiri, bukan kebijakan internal kampusnya seperti yang telah aku tulis di cerita terdahulu. 

Walau Stevie sang murid kesayangan selalu menjadi penyemangat harapanku, tetapi terkadang aku acap kali mempertanyakan ekspektasiku pada diriku seorang diri.

Aldi, kamu yakin mau kuliah di UPI? Insha Allah, yakin di jurusan Bahasa Jerman UPI.

Terus yakin mau jadi guru? Hmmm, kadang masih enggak yakin juga nih. 

Kenapa? Jadi guru butuh kesabaran & usahain enggak emosional. Kadang-kadang kalo presentasi masih suka tegang sampe ngomong cepet-cepet padahal enggak dikejar sesuatu. Terus kalo ngomong kadang suka emosional juga. 

Sekarang gimana? Kesabaran harus lebih ditingkatin lagi biar bisa jadi guru. Insha Allah nanti bisa jadi guru setelah lulus kuliah.

Oke, rencana bagus, di. Tapi btw kalo ntar enggak bisa jadi guru, mau jadi apa? Rencananya, ntar mau jadi dosen buat back-up dari profesi guru (tapi dosen harus kuliah sampe S2) atau jadi penulis soalnya itu udah jadi hobi dari SMA. 

Pertanyaan tentang ekspektasi-ekspektasiku telah tiba di ujungnya sebelum memudar karena ditelan oleh angin udara dan bagai mendarat di landasan hatiku, sebuah pertanyaan hinggap lagi sambil membawa bunyi tentang jenjang dimana aku akan mengajar nanti. Jujur, ekspektasi bin spekulasiku selalu berbicara jika Stevie adalah seorang gadis 13 tahun yang artinya dia adalah seorang siswi SMP. Bahasa Jerman pada filosofinya adalah sebuah pelajaran bagi siswa-siswi SMA namun ekspektasiku mewartakan jika Stevie sudah mempelajari Bahasa Jerman sebelum duduk di bangku SMA. Lalu bagaimana bilaku tidak menjadi guru Bahasa Jerman? Cukup menjadi walikelas, karena jabatan tersebut tidak memandang latar belakang bidang pendidikan bagi seorang guru. 

Masih mau mempertanyakan ekspektasi? Masih bisa dan ada waktu bin kesempatan, tetapi kini aku membiarkan kenyataan yang menjawab sambil berbicara... ^_^ ^_^ ^_^ 

Tulisan indah seorang Guru Bahasa Jerman di masa depan.

Bandung, 23 Juli 2016
Pukul 13.30 WIB.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar pada ulat dan kupu-kupu (#Filosofi renungan pagi)

Nge-Belanda bareng Aagaban (Negeri Van Oranje)

Merengkuh lentera jiwa dalam sunyi